Oleh : Jihan Fadhilah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Aparat Polda Kepulauan Riau menggagalkan upaya penyelundupan narkotika jenis sabu cair sebanyak 13,2 liter. Sabu cair ini diduga akan dibawa ke luar wilayah provinsi setempat melalui Bandara Internasional Hang Nadim Batam. Direktur Reserse Narkoba Polda Kepulauan Riau (Kepri) Komisaris Besar Polisi Donny Alexander di Batam, Senin kemarin (29/4/2024) mengatakan, sabu cair dimasukkan ke dalam botol minuman kemasan dan kemasan teh China. Praktik ini merupakan modus baru dan pertama kali ditangani oleh Polda Kepri. Dengan satu liter sabu cair dapat menghasilkan 2,5 kilogram jenis sabu kristal atau padat. Kapolda Kepri Irjen Pol. Yan Fitri Halimansyah mengatakan, selain menggagalkan penyelundupan sabu cair, Polda Kepri juga mengamankan sabu padat kristal seberat 28,86 kilogram. (KOMPAS, 30/4/2024)
Pemerintah dianggap jalan di tempat dalam memberantas gurita bisnis narkoba. Alih-alih berkurang, peredaran narkoba malah makin merajalela. Ironis, Indonesia termasuk dalam segitiga emas perdagangan narkoba dunia. Mirisnya lagi Indonesia sudah memiliki BNN yang tidak bisa membekuk jaringan besar narkoba. Hal ini juga menggambarkan betapa narkoba sudah menggurita dan merajalela
Bali, Batam, dan Bogor, bukanlah yang pertama dan satu-satunya menjadi tempat sindikat narkoba beraksi. Telah banyak di wilayah Nusantara yang juga menjadi pasar empuk, bahkan tempat produksi narkoba. Penangkapan sindikat pun tidak pernah sepi diberitakan media. Sayangnya, yang tertangkap hanyalah bandar narkoba kecil, sedangkan bandar besar beserta jaringannya sangat sulit diberantas.
Hingga November 2023, jumlah pengguna narkoba di Indonesia ada sebanyak 3,3 juta orang. Angka ini menurun 0,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, peredaran narkoba di Indonesia masih menjadi PR besar. Mengapa narkoba begitu sulit diberangus? Setidaknya ada beberapa faktor kompleks yang melatarbelakanginya.
Pertama, penggunaan yang tidak terbatas dan melibatkan banyak kalangan. Saat ini, pengguna narkoba makin beragam, mulai dari kalangan pelajar, ibu rumah tangga, artis, selebgram, hingga aparat penegak hukum. Buktinya, 1,3 juta ekstasi diproduksi demi memenuhi permintaan pasar. Sebagaimana prinsip ekonomi dalam kapitalisme, ketika permintaan barang meningkat, pengadaan stok barang akan meningkat pula.
Kedua, kompleksitas kejahatan narkoba. Kejahatan narkoba memiliki karakteristik yang berbeda dari kejahatan lainnya. Daya rusaknya dahsyat hingga bisa menyebabkan satu negara bisa lumpuh. Pasalnya, serangan narkoba makin gencar menyasar generasi muda.
Ketiga, keterlibatan aparatur negara. Penanganan menjadi makin rumit tatkala aparat penegak hukum yang seharusnya bertanggung jawab memberangus narkoba malah ikut-ikutan menjadi pengguna, pengedar, bahkan bandar. Mereka sibuk menghimpun kekayaan dan melindungi kekuasaannya. Siapa pun yang bisa memberikan mereka cuan, akan dilindungi dan tidak peduli ia bandar narkoba ataupun bandar judi yang telah jelas merusak bangsa. Alhasil, banyak para pebisnis barang haram merasa lebih aman berbisnis di negeri ini.
Keempat, gurita bisnis narkoba di pasar internasional. Narkoba adalah bisnis yang menggiurkan bagi para bandar dan gembongnya. Berbisnis narkoba menjadi pilihan tepat bagi mereka yang ingin cepat kaya secara materi. Halal haram tidak menjadi standar mereka dalam bermuamalah, mereka hanya mengejar keuntungan berlimpah. Terlebih, sistem ekonomi kapitalisme selalu saja menciptakan kemiskinan dan kesenjangan. Kondisi ini menjadikan banyak pihak terpaksa terlibat karena dorongan kebutuhan.
Kelima, asas kehidupan berparadigma sekuler kapitalisme membuat visi hidup seseorang hanya mencari kesenangan materi dan dunia, meski dengan cara yang diharamkan dan merugikan banyak orang. Dalam kehidupan sekuler yang kapitalistik, kesenangan dan kekayaan materi adalah pencapaian tertinggi. Alhasil, individu mudah terjebak dengan arus kejahatan dan kriminalitas.