Oleh: Cahaya Chems (Pegiat Literasi)
Kunjungan Paus Fransiskus Ke Indonesia dalam tajuk apostoliknya pada 3-5 Sepetember 2024. Mendapat sambutan hangat terutama dari pejabat Kementerian Agama. Bahkan 33 Tokoh Muslim Indonesia menyambutnya dengan meluncurkan buku yang berjudul “Slave Peregrinans Spei” yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”. Buku itu digarap tiga bulan terakhir sebelum kunjungan Paus. Dengan begitu mereka berharap semangat keberagaman dan ide pluralisme tetap hidup di Indonesia. Sehingga dari sana nilai-nilai toleransi dapat berjalan dengan baik diantara sesama umat beragama. (Kompas.com, 02 /09/2024).
Kedatangan Paus Fransiskus membuat isu toleransi kembali mencuat ke permukaan. Sikap Penguasa maupun tokoh-tokoh agama terhadap Paus Fransiskus di momen ini seolah meneladani sikap toleransi kepada umat Islam di Indonesia. Namun, benarkah toleransi yang mereka ajarkan dan praktekkan sudah sesuai dengan ajaran Islam?
Maka sesungguh umat Islam harus kritis dan memiliki sikap yang benar sesuai dengan tuntunan syariat. Pasalnya toleransi dalam kehidupan umat beragama memiliki aturan yang baku dan jelas. Sejarah telah menunjukkan Spanyol sebagai salah satu cerminan hidup toleransi antara muslim, yahudi, dan kristen.
Sebagaimana firman-Nya “sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah Islam”. (Qs Ali-Imran : 19). Ayat ini sejatinya mengajarkan umat Islam bahwa toleransi dengan orang kafir tidak boleh mengurangi keyakinan terhadap Islam sebagai satu-satunya agama yang benar yang satu salah. Dan satu-satunya jalan keselamatan di akhirat yang lain tidak.
Selain itu, toleransi tidak boleh mengurangi semangat dakwah mengajak mereka masuk Islam. Sebab hubungan yang seharusnya terbangun antara umat Islam dan non muslim adalah hubungan dakwah. Ini pula yang pernah dicontohkan baginda Nabi saw ketika menjadi kepala negara di Madinah. Rasulullah mengirimkan utusan yang membawa surat ajakan masuk Islam kepada Heraklius (Kaisar Romawi), Raja Negus (Penguasa Ethiopia), dan Kisra (Penguasa Persia).
Isi surat itu sangat jelas bahwa Beliau saw mengajak mereka masuk Islam dan keselamatan mereka akan terjamin di dunia dan akhirat. Namun jika menolak, Beliau saw mengajak mereka bergabung dengan negara Islam di bawah kepemimpinan Islam dengan jaminan keselamatan dunia dan jika masih menolak, maka Rasulullah menyatakan perang. Sebab mereka secara tidak langsung telah menghalangi (secara fisik) masuknya dakwah Islam ke negeri itu. Demikianlah sikap Rasulullah terhadap pemimpin negara-negara kafir.
Dengan demikian, toleransi bukan dimaknai berpartisipasi dalam kegiatan ibadah mereka dan segala turunannya. Rasulullah saw tegas menolak melakukan ‘toleransi’ dalam bentuk terlibat apalagi sampai mengamalkan ajaran agama lain. Ketika masih di Mekah ada beberapa tokoh quraisy menemui Beliau saw, mereka menawarkan toleransi “Muhammad bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum muslim) juga beribadah kepada tuhanmu kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami. Maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus amalkan”.