Oleh Suryani
Pegiat Literasi
Penderitaan muslim Rohingya seolah tidak pernah berakhir. Konflik yang ada di negaranya membuat mereka harus rela meninggalkan tanah kelahirannya di Myanmar dan pergi dari satu negara ke negara lain berharap memperoleh perlindungan dan kehidupan yang lebih baik.
Kali ini mereka meninggalkan Banglades dan berlayar menuju Indonesia. Kurang lebih 17 hari mereka terombang ambing di lautan dan terdampar di Deli Serdang, Sumatra Utara. Salah satu pengungsi M. Sufaid (24) menjelaskan mereka terpaksa meninggalkan Banglades menuju Indonesia dengan berlayar menggunakan kapal kayu sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Malaysia atau negara lainnya. (Kompas.com, 24 Oktober 2024)
Kedatangan para pengungsi Rohingya bukan kali ini saja terjadi, sebelumnya ada sekitar 150 pengungsi Rohingya memasuki perairan Aceh Selatan pada Jumat (18/10/2024). Awalnya warga menolak kedatangan mereka tetapi kemudian diijinkan untuk sementara waktu dan segera akan direlokasi ke wilayah Lhokseumawe.
Sungguh miris. Berlayar di tengah lautan menuju negara tetangga berharap mendapat pertolongan, nyatanya tidak sesuai harapan. Padahal mereka yakin bahwa Indonesia penduduk muslim terbesar, tentunya mau menerima kedatangannya. Namun yang ada kedatangannya ditolak oleh sebagian warga karena beberapa alasan.
Di antara alasannya adalah karena ada opini negatif yang diaruskan oleh sejumlah oknum untuk menyebarkan kebencian terhadap muslim Rohingya, baik itu di dunia nyata maupun maya. Yakni isu bahwa muslim Rohingya akan seperti Israel merebut negara yang disinggahinya. Bahkan kedatangan sebagian pengungsi juga disinyalir ada yang melibatkan sindikat perdagangan orang.
Namun yang paling menonjol adalah karena paham nasionalisme yang telah menjangkiti masyarakat dan pemerintahan Indonesia. Mereka menganggap bahwa pengungsi Rohingya adalah orang asing yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara RI. Untuk itu Indonesia merasa tidak ada kewajiban untuk mengurus para pengungsi Rohingya.
Sikap tersebut jelas kontradiktif dengan pernyataan dari pihak pemerintah RI yang mengakui bahwa Indonesia memiliki aturan terkait perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan tanggung jawab terhadap pengungsi berdasarkan convenant PBB tentang HAM yang mewajibkan untuk menghormati para pengungsi atau pencari suaka.
Semua itu akibat dari paham nasionalisme yang lahir dari sistem kapitalisme dan diterapkan oleh negeri ini, sehingga menganggap urusan Rohingya adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Indonesia. Begitupun dengan semua anggota negara ASEAN dan anggota PBB sedunia tidak ada satu pun yang tergerak untuk mengerahkan militer guna menghentikan genosida di Myanmar dan membebaskan muslim Rohingya.
Sistem kapitalisme juga mempunyai asas mengejar keuntungan materi semata. Ketika suatu urusan tidak mendatangkan keuntungan maka hal tersebut tidak menjadi prioritas. Karena mengurusi pengungsi yang diklaim bukan warga negara Indonesia haruslah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan tentu saja sangat memberatkan.
Kalaupun ada individu atau masyarakat ingin membantu, tentu tidak bisa seperti negara. Karena jumlah para pengungsi yang banyak, maka memerlukan sarana dan prasarana yang mendukung, hal tersebut hanya mampu dilakukan oleh negara. Maka jelas yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurusi pengungsi Rohingya haruslah satu institusi negara yang menganggap bahwa seluruh warga muslim yang tertindas wajib dilindungi.
Sejatinya negara dan masyarakat Indonesia tidak boleh menolak mereka. Mereka adalah saudara sesama muslim. Ada pertalian akidah di antara muslim Indonesia dan muslim Rahingya. Sudah seharusnya bangsa ini menerima, mengurusi, menyambut dengan baik, memenuhi semua kebutuhan pokok serta keperluan lainnya. Karena sudah jelas mereka tidak mungkin lagi kembali ke negara asalnya karena jiwa mereka terancam. Allah Swt. telah berfirman dalam surah al-Maidah ayat 32,
“………Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya……”
Muslim Rohingya sebenarnya tidak membutuhkan penampungan sementara, tetapi yang mereka butuhkan institusi negara yang akan melindunginya dari genosida, ancaman, pengusiran, kelaparan dan kematian. Hal ini tentu tidak akan terwujud oleh negara yang masih terbelenggu nasionalisme dalam bingkai sistem kapitalime. Perlu negara yang menerapkan Islam secara kafah untuk mewujudkannya.