Opini

Musim Hujan Tiba, Solusi Banjir Tidak Pernah Ada

122

 

Oleh Tinie Andryani

Aktivis Muslimah

Hujan yang mengguyur sebagian wilayah di tanah air dengan intensitas yang tinggi tidak hanya membebaskanya dari kemarau panjang, tetapi turut mengundang kembali bencana banjir. Banjir telah menerjang beberapa kota di Jawa Barat salah satunya di Kabupaten Bandung.

Tingginya curah hujan pada hari Senin, 11 November 2024 siang menyebabkan air sungai Cikambuy dan Cipananggulan meluap hingga merendam rumah warga di Kompleks Cingcin Permata Indah (CPI) Desa Gandasari, Kabupaten Bandung dengan ketinggian air mencapai 1 Meter hingga 1,5 Meter (detikjabar).

Bukan hanya merendam rumah warga, banjir pun mengganggu aktivitas warga sekitar. Warga merasa terganggu dengan terputusnya akses jalan yang menghubungkan ke kompleks tersebut. Pemerintah daerah berencana membangun kolam retensi, tapi hingga saat ini proyek tersebut belum juga terealisasi. Warga berharap Pemda bisa memberikan solusi untuk penanggulangan banjir mengingat banjir sering terjadi di daerah tersebut.

Banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Penyebabnya tidaklah bersifat tunggal, melainkan sistemik dan saling berkaitan. Pun dengan penanganannya, tidak bisa dilakukan hanya dengan tambal sulam semata, tetapi perlu solusi menyeluruh sampai ke akar permasalahan agar banjir tidak terulang kembali.

Curah hujan yang tinggi sering kali di jadikan faktor penyebab utama terjadinya banjir. Padahal sejatinya hal itu merupakan salah satu pemicunya saja. Justru faktor utama penyebab banjir adalah adanya pembangunan kapitalistik.

Penebangan hutan secara berlebihan misalnya, hutan yang ditebang secara terus menerus merupakan faktor utama penyebab terjadinya banjir. Selain itu alih fungsi lahan pun menjadi faktor penunjang terjadinya kerusakan alam sekitar yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Akibatnya debit air tidak tertampung secara normal, sampah-sampah yang menumpuk pun turut memperburuk kondisi lingkungan.

Keserakahan manusia dalam sistem kapitalis ini menggeser kestabilan alam. Hal ini diperparah oleh kebijakan kapitalistik yang hanya mengedepankan materi saja. Apapun dilakukan untuk meraup keuntungan, sekalipun merusak lingkungan.

Tak dapat dipungkiri, saat ini banyak sekali dijumpai alih fungsi daerah resapan menjadi perumahan, adanya reklamasi pantai dan tempat tempat wisata. Tentu, menjamurnya alih fungsi lahan tersebut karena restu dari penguasa kepada pemilik modal (kaum kapital) sehingga tata kota yang dibangun berdasarkan keinginan kaum pemilik modal, bukan atas dasar kemaslahatan masyarakat. Pemerintah hanya peduli pada penggenjotan ekonomi tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan dan negara pun hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetorkan oleh pengusaha. Parahnya lagi, ada oknum-oknum aparat yang menjadi beking perusakan lingkungan demi mencari keuntungan pribadi berupa uang pelicin. Alhasil kebijakan pembangunan eksploitatif ini menjadikan negeri ini langganan bencana.

Exit mobile version