Oleh : Rini Hafsa
Kurang dari sebulan, presiden Indonesia terpilih pada pemilu periode 2024 ini, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan segera dilantik dan dilakukan pengambilan sumpah jabatannya
pada Oktober mendatang. Tentu saja persiapan matang telah dikerahkan demi euphoria pelantikan presiden baru Indonesia.
Namun ada yang lebih menarik untuk dibahas ketimbang menantikan euphoria pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Persoalan ini menjadi panas terkait berhembusnya isu kuat akan adanya penambahan jumlah kursi menteri di kabinet baru Indonesia. Jumlah kursi menteri di kabinet presiden terpilih 2024—2029, Prabowo Subianto, dikabarkan akan bertambah dari 34 menteri di era Presiden Jokowi menjadi 40-an menteri.
Hal ini diamini oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani. Beliau mengatakan bahwa Prabowo ingin pemerintahan yang dipimpinnya nanti adalah zaken kabinet, di mana orang-orang yang duduk di kementerian benar-benar ahli. Susunan kabinet ini akan rampung sebelum pelantikan Prabowo pada 20 Oktober 2024 mendatang.(www.cnnindonesia.com, 14/09/2024)
Zaken kabinet diartikan sebagai kabinet yang diisi profesional dan ahli pada urusan sesuai bidangnya masing-masing. DPR pun ikut memuluskan rencana penambahan jumlah kabinet dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kementerian Negara.
Sarat Kepentingan
Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona ikut berkomentar terkait kabinet gemuk Prabowo Gibran. Menurut Yance kondisi ini tidak sepenuhnya mengejutkan. pasalnya saat masa transisi Jokowi-Prabowo berlangsung, banyak petinggi partai yang diangkat menjadi menteri. Pembentukan UU oleh DPR membuktikan bahwa lembaga ini bukan lagi lembaga mandiri untuk kepentingan rakyat, tapi sudah bisa dititipin (https://jogja-suara.com, 29/09/2024)
Mewujudkan kabinet Zaken nyatanya sarat akan kepentingan. Banyaknya partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mau tidak mau berdampak pada penambahan jumlah kursi menteri. Koalisi yang mengusungnya sudah pasti akan memasukkan kader partai ke kabinet. Hal Ini selayaknya seperti tradisi yang terus berulang dari satu presiden ke presiden selanjutnya. Maka terciptanya kabinet murni tidak akan terwujud bahkan mustahil.
Pemilihan calon menteri dengan hanya kompetensi atau keahlian tanpa mempertimbangkan aspek independensi dirasa cukup sulit. Menteri ‘pesanan partai’ sudah menjadi hal lumrah dalam kancah perpolitikan. Di masa pemerintahan sebelumnya pun tergambar jelas bagaimana menteri pesanan partai ini justru menambah kerumitan yang sangat panjang bahkan minus prestasi. Menteri komunikasi dan informasi contohnya yang belum lama dilantik namun berhasil menggegerkan negara dengan aksi peretasan dan lumpuhnya akses data kementerian/lembaga.
Buang-Buang Anggaran
Selain mengindikasikan gejala bagi-bagi kekuasaan yang teramat kuat, penambahan jumlah kursi kabinet yang ugal-ugalan jelas akan memperberat beban anggaran. Banyaknya kementerian baru yang diciptakan sudah barang tentu akan memberikan dampak penambahan fasilitas dan infrastruktur. Negara sudah cukup terbebani dengan banyaknya utang yang masih tak kunjung terbayar namun masih harus terbeban dengan rancangan kabinet Zaken.