Oleh: Astriani Lydia, S.S (Komunitas Parenting Ibu Tangguh Bekasi)
Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi yang membahas mengenai Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan mengungkapkan moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, dan global. Beliau juga mengatakan bahwa moderasi yang dilandasi dengan kerukunan umat beragama menjadi pondasi penting dalam menciptakan stabilitas sosial, keamanan, dan ketentraman masyarakat khususnya di Kabupaten Bekasi.
Benarkah demikian? Mengapa Isu Moderasi Beragama saat ini digaungkan kembali?
Di alam demokrasi, moderasi beragama dianggap sebagai solusi meredam konflik antar umat beragama. Bahkan kunjungan Grand Syaikh Al Azhar As-Syarif Al-Imam Al-Akbar Prof Dr Ahmad Muhammad Ahmed At Tayeb kemarin ke Indonesia banyak dipelintir tokoh Islam moderat dan sekuler dan dibantu mobilisasi media bahwa beliau membawa misi Islam moderat dan toleransi. Namun jika dilihat, pesan utama pidato Grand Syaikh Al-Azhar saat mengisi seminar di UIN Syahid Jakarta adalah tentang Persatuan Umat Islam (Wahdah al-Ummah al-Islamiyyah).
Moderasi beragama sejatinya tidak hanya mengaburkan jati diri muslim, bisa jadi ia bakal mengubur nilai-nilai Islam khususnya di Indonesia. Berbagai program yang digagas Kemenag seperti Kampung Damai, Kampung Moderasi, ataupun Kampung Toleransi hanya membuat masyarakat berlomba meraih predikat paling toleran, dengan mengesampingkan nilai-nilai dasar syariat yang hakiki. Jika tidak ikut arus menggaungkan moderasi, cap intoleran bahkan radikal pun menghantui masyarakat. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat ikut serta dalam arus moderasi beragama.
Dalam Islam, ide moderasi beragama tentulah tidak berguna. Karena sesungguhnya Islam mendorong umatnya agar hidup damai, rukun dan toleran, saling menghormati, tolong-menolong, serta bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk interaksi dengan nonmuslim. Tengoklah ketika masa Khalifah Umar bin Khaththab, seorang nenek Yahudi datang dari Mesir ke Madinah untuk melaporkan kezaliman yang dialaminya berupa penggusuran tanah dan rumahnya untuk membangun masjid. Menanggapi hal tersebut, Khalifah Umar kemudian memberikan peringatan keras kepada Amr bin Ash sebagai Wali Mesir agar adil terhadap rakyatnya. Sang nenek Yahudi pun terharu dengan keadilan yang ditegakkan sehingga akhirnya merelakan tanahnya untuk masjid dan ia sendiri kemudian memeluk Islam.