Oleh: Ummu Abiyu
Menanggapi diperbolahkannya melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Mubaligah Ustazah Rif’ah Kholidah menegaskan bahwa haram hukumnya melakukan aborsi tanpa alasan syar’i.
Ia menjelaskan bahwa para fukaha mendefinisikan aborsi sebagai gugurnya janin sebelum sempurnanya masa kehamilan. Aborsi dapat dilakukan sesudah atau sebelum peniupan ruh ke dalam janin. Jika aborsi terjadi setelah peniupan ruh, yakni masa kehamilan di usia 120 hari atau 4 bulan, maka seluruh fukaha sepakat mengenai keharamannya, baik yang menggugurkan adalah ibu dari janin bapaknya atau seseorang yang menganiaya perempuan yang hamil.
Adapun aborsi jika sebelum ditiupkannya ruh ke dalam janin, maka para fukaha berbeda pendapat. Di antaranya mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan sesuai dengan rincian tahapan penciptaan janin,” ujarnya.
Praktik aborsi kini menjadi hal yang lumrah dilakukan. Pasalnya, Presiden Joko Widodo baru saja melegalkan PP Kesehatan terbaru, yakni berupa pelegalan tindakan aborsi untuk korban pemerkosaan.
Menurut ketua MUI bidang dakwah, M.Choli Nafis, PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan soal aborsi sudah sesuai dengan Islam, hanya kurang ketentuan terkait kebolehan aborsi karena diperkosa itu, dengan syarat usia kehamilan sebelum usia 40 hari, yaitu sebelum ditiupkannya ruh, karena jika melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkah al-ruh, hukumnya adalah haram.
Oleh karena itu keharaman aborsi pada saat usia kehamilan 40 hari atau 42 hari dikarenakan pada masa itu janin telah memasuki fase penciptaan dan tampak padanya beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, mata, kuku dan lainnya. Maka pada fase ini dapat dipastikan bahwa janin tersebut telah berproses untuk menjadi manusia yang sempurna.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الـْمَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ..
Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud nuthfah (mani), kemudian menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) selama itu juga, kemudian menjadi mudghah (gumpalan daging) selama itu juga. Kemudian diutus seorang malaikat, lalu dia meniupkan ruh kepadanya.
“Hadis ini menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakkan anggota tubuh adalah setelah melewati 40 hari atau 40 malam. Dengan demikian maka aborsi pada saat usia kehamilan 40 atau 42 malam merupakan penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda kehidupan yang terpelihara darahnya,” terangnya.
Maka dari itu siapa saja yang melakukan aborsi pada usia kehamilan 40 atau 42 hari tanpa alasan syari’ seperti adanya ancaman terhadap nyawa ibu, maka hukumnya adalah haram dan wajib membayar diyat atas janin yang digugurkan, yaitu baik budak laki-laki maupun perempuan atau seperti diat manusia sempurna yaitu sepuluh ekor unta.
Sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin tindakan aborsi bisa dilegalisasi, sementara aborsi itu tindakan menghilangkan nyawa yang ada dalam rahim seorang ibu.Apa yang sebenarnya melanda negeri ini?
Ketika kita menelisik permasalahan melegalkan aborsi yang dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan sungguh ini suatu hal yang sangat miris.Dan adanya upaya untuk mewujudkan layanan aborsi aman makin gencar dengan berlindung dibalik UU kesehatan.
Dengan ditetapkannya melegalkan aborsi aman seolah-olah menjadi solusi untuk para korban pemerkosaan bahkan dianggap dapat menghilangkan kehamilan tidak diinginkan akibat pergaulan bebas maupun tindak pemerkosaan.Padahal sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena akan menimbulkan risiko.
Tindakan aborsi sendiri memiliki risiko medis yang fatal bagi perempuan yang melakukannya hingga bisa mengancam nyawa jika terjadi pendarahan atau infeksi. Selain itu, ada juga risiko non-medis, yaitu secara psikis berupa trauma dan lain-lain.
Merupakan suatu keniscayaan legalisasi Aborsi ini adalah suatu jalan yang semakin memuluskan menuju liberalisasi perilaku seksual bebas, dengan hak asasinya yang mendewakan dalam kebebasan berperilaku.