Opini

Minyak Kita, Apa Milik Kita?

241
×

Minyak Kita, Apa Milik Kita?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ummu Azizz

Minyak goreng adalah kebutuhan pokok dalam masak memasak. Bagaimana bisa seorang memasak tanpa ketersediaan minyak didapurnya. Alih alih dibuat mudah dalam hal ini,kita sebagai rakyat justru sulit menjangkau harga minyak . Justru dengan naiknya harga minyak membuat kita resah. Sudahlah kebutuhan pokok lain naik, kini minyak goreng ikut naik.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 tak masuk akal. Pasalnya, dia menyebut Indonesia merupakan eksportir minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng.

Kenaikan HET MinyaKita merupakan usulan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas. Alasannya, kata dia, harga minyak goreng rakyat itu harus menyesuaikan nilai Rupiah yang sudah merosot hingga Rp 16.344
(Tempo.com/25/07/2024).

Kenaikan harga MinyaKita tentu menimbulkan spekulasi. Mengapa negeri penghasil sawit terbesar di dunia malah menaikkan harga minyak goreng? Seperti diketahui, sawit merupakan bahan baku produksi minyak goreng.

Kenaikan harga minyak goreng di negeri penghasil sawit terbesar adalah ironi yang tidak terelakkan. Pasalnya, Indonesia adalah negara pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia. Ia menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi Indonesia. Sebab, pada 2023, ekspor CPO menyumbang 33,72% devisa negara. Mengutip data dari United States Foreign Agricultural Service, produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta metrik ton.

Dengan potensi sebanyak itu, mengapa ketersediaan minyak goreng di dalam negeri harus ditetapkan dengan HET yang tidak ramah bagi kantong rakyat menengah dan akar rumput? Ini alasannya.

Pertama, pemerintahan bercorak kapitalistik sangat memungkinkan menetapkan aturan sesuka hati. Buktinya, aturan HET MinyaKita dengan harga Rp14.000 per liter yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat masih bisa direvisi demi aturan HET yang baru. Ketika ingin mengganti kebijakan, aturannya yang diubah, bukan patuh pada aturan yang dibuat sebelumnya. Inilah karakter pemerintahan kapitalis, yaitu mengubah aturan demi kepentingan tertentu.

Kedua, pemerintahan kapitalis selalu berhitung untung dan rugi kepada rakyat. Indikasinya ada pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan pengaruh nilai tukar rupiah. Pemerintah seakan telah bersiap jika terjadi kemungkinan naiknya biaya produksi dan nilai tukar rupiah melemah yang akan memengaruhi harga distribusi minyak goreng. Seakan tidak mau rugi, semua hitungan kerugian tersebut sudah disiapkan dan dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan HET minyak goreng.

Ketiga, absennya peran negara dalam melakukan tata kelola sawit, baik dalam aspek produksi maupun distribusi. Besarnya peran swasta dalam pengelolaan sawit sangat berpengaruh pada rantai pasokan minyak goreng serta distribusinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *