Oleh Guspiyanti
Belakangan tengah ramai menjadi perbincangan tentang biaya kuliah yang semakin mahal. Unmul telah merilis biaya pendidikan untuk 2024/2025 yang terdiri dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) atau uang pangkal. Dikutip dari laman resmi Unmul, UKT adalah biaya yang dikeluarkan mahasiswa setiap semesternya baik yang masuk lewat jalur SNBP, SNBT, hingga jalur mandiri. Dalam biaya UKT Unmul 2024 terbaru, terlihat rata-rata UKT dibagi 8 golongan. Biaya kuliah UKT di Unmul tertinggi untuk tahun 2024 yaitu Rp 25 juta yaitu S1 kedokteran sedangkan biaya UKT termurah semua jurusan S1 yaitu golongan kelompok 1 Rp 500 ribu. (kaltim.tribunnews.com)
Tidak hanya Unmul sejumlah kampus negeri juga menaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat-lipat. Bahkan ada yang memberlakukan uang pangkal untuk masuk perkuliahan. Keputusan ini akan memupus impian banyak anak muda yang ingin kuliah di PTN. Kampus negeri yang dulu dikenal lebih terjangkau dibanding kampus swasta, kini biayanya malah makin melambung. Sejumlah mahasiswa kampus negeri juga terancam tidak bisa melanjutkan perkuliahan karena merasa tidak mampu mengikuti kenaikan uang kuliah.
Sebut saja Naffa Zahra Muthmainnah yang diterima di USU lewat jalur prestasi. Namun, ia terpaksa mengundurkan diri karena tidak mampu membayar UKT yang besarnya Rp8,5 juta. Sebelumnya ia mengira uang kuliahnya hanya Rp2,4—3 juta. Diketahui, UKT 2024 di USU mengalami kenaikan 30—50% dibandingkan 2023.
Komersialisasi Dunia Pendidikan
Semakin mahalnya Biaya UKT dan IPI bukti negara lepas tangan dalam pembiayaan Perguruan Tinggi. Ini sejalan dengan pernyataan bahwa Perguruan tinggi sebagai edukasi tersier, artinya bersifat elit dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Dan ini terlahir dari kebijakan global yang dimotori WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) dengan memasukkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.
Sejak itu dibuatlah berbagai payung hukum yang melegalkan komersialisasi pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis, pro pasar industri, dan mengebiri peran negara sebagai penanggung jawab pendidikan.
Dampaknya adalah kenaikan biaya UKT yang semakin menggila. Terutama sejak diberlakukannya UU PTN-BHMN, negara bukan menambah anggaran pendidikan tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayarMaka Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia. Jelas ini kebijakan zalim yang merampas hak rakyat untuk mengeyam pendidikan tinggi. Juga akan mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia internasional. Lantas bagaimana mewujudkan Indonesia emas.
Pendidikan Kebutuhan dan Kewajiban
Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda dengan pandangan Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).