Oleh: Hamsina Ummu Ghaziyah
(Pegiat Literasi)
Persoalan hidup rakyat kian hari semakin pelik. Pasalnya, selain mahalnya buata hidup, rakyat juga kesulitan mendapatkan produk yang seratus persen halal. Dilansir dari Beritasatu.com, (1/10/2024), Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkap adanya temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ketua MUI Bidang fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengonfirmasi penemuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self declare. Proses ini dilakukan tanpa audit lembaga pemeriksaan halal dan tanpa penetapan kehalalan dari komite fatwa MUI.
Ladang Bisnis
Masyarakat tengah dihebohkan dengan sertifikasi halal beberapa produk yang selama ini dikenal masyarakat luas tetkait keharamannya. Sebut saja Beer dan Wine, yang mana kedua jenis minuman ini bukanlah produk lokal melainkan produk luar. Beer/bir sendiri merupakan hasil dari fermentasi biji-bijian dan kandungan alkohol didalamnya bisa mencapai 4-5 persen. Sementara, Wine merupakan hasil fermentasi dari buah anggur dan kadar alkohol dalam wine atau anggur bervariasi tergantung jenisnya, tetapi umumnya berkisar antara 10–20 persen. Oleh karena itu, secara hukum Syara’ baik beer atau wine dan sejenisnya termasuk minuman yang haram karena mengandung unsur yang memabukkan yaitu alkohol.
Namun dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu yang menghasilkan materi dan keuntungan akan dijadikan ladang bisnis bagi para pengusaha atau pemilik modal. Bahkan, jangan salah, standar halal dan haramnya suatu produk bukanlah patokan bagi para pelaku bisnis. Melainkan, asas manfaat dan keuntungan semata.
Padahal produk yang jelas keharamannya tidak selayaknya diperdagangkan secara bebas apalagi di negeri yang mayoritas muslim. Hal ini tak lain karena adanya dukungan dari pemerintah serta sistem yang diterapkannya yakin kapitalisme sekuler. Alhasil, produk yang jelas keharamannya bebas diperdagangkan bahkan diberi label halal. Lebih mirisnya lagi, produk tersebut dianggap aman karena zat yang ada di dalam komposisi produk tersebut dianggap halal.
Inilah bentuk sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme sekuler. Nama produk tak menjadi persoalan asal zat dalam komposisi produk tersebut halal. Padahal sejatinya, hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan karena persoalannya adalah halal dan haramnya suatu benda.
Jika ditarik dalam hukum Syara’, halal-haram suatu benda merupakan prinsip dalam Islam dan itu jelas tidak diada-adakan. Sementara dalam sistem kapitalisme sekuler, halal-haram suatu benda bukan menjadi patokan karena prinsip Kapitalisme adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Itulah, mengapa alkohol seperti Beer, Wine, dan sejenisnya, bebas dipasarkan.
Sertifikasi Halal dalam Sistem Islam