Oleh Narti Hs
Pegiat Dakwah
Indonesia merupakan salah satu negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa melimpah, baik di permukaan maupun perut bumi. Namun demikian, wilayah ini tak luput dari bencana alam yang sering melanda. Banjir, erupsi gunung, bahkan gempa bumi yang membuat mereka kehilangan rumah dan harta bendanya, karena harus mengungsi.
Seperti baru-baru ini telah terjadi musibah gempa bumi tektonik di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kecamatan Kertasari. Berdasarkan data BPBD, sebanyak 4.000 unit rumah telah terdampak, 35 orang luka berat, 98 ringan dan dua orang meninggal dunia.
Herman Suryatman selaku sekretaris daerah mengatakan bahwa kehadiran Pemda Provinsi Jabar dalam penanganan bencana ini dilakukan secara bahu-membahu bersama BNPB, BPBD, dan TNI/Polri. Hal tersebut untuk memastikan masyarakat yang terdampak agar mendapatkan kenyamanan dan keamanan pasca terjadinya gempa bumi. Selain itu, Pemerintah daerah juga menyediakan dapur umum bagi para korban. (kabarrepublika.co.id, 21 September 2024)
Musibah gempa yang terjadi di Kabupaten Bandung, mengingatkan kejadian serupa pada pembuka tahun 2021 lalu. Peristiwa ini cukup mengejutkan, walaupun sebenarnya telah lama BMKG memberikan peringatan dini akan terjadi gempa di kawasan megathrust. Dampaknya, kerusakan dan kerugian pun tak bisa terelakkan.
Dipahami bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang posisinya dari aspek kebencanaan, termasuk ring of fire (cincin api pasifik), yakni pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Indo-Australia, Eurosia, dan lempeng Pasifik. Namun fakta ini sering dianggap sebagai tindakan kuratif saja, yakni sekedar sebagai ‘pemadam kebakaran’. Belum memetakan daerah yang rawan bencana gempa. Seharusnya, negara tidak membolehkan wilayah tersebut sebagai tempat tinggal/hunian agar tidak membahayakan.
Pun jika ada pemetaan, sering kali negara kalah apabila berhadapan dengan keuntungan bisnis. Dari sini nampak bahwa kepengurusan terhadap rakyat tidak terwujud dalam sistem kapitalisme. Di mana kebijakan yang ditetapkan hanya ditujukan untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal.
Suatu hal yang aneh apabila kita tinggal di suatu wilayah yang rawan bencana, tetapi belum juga bisa beradaptasi dan siap siaga menghadapi musibah tersebut. Upaya mitigasi yang telah ditetapkan undang-undang dan disiapkan timnya, ternyata belum mampu berjalan maksimal. Negara yang seharusnya melakukan antisipasi, justru fokus dalam tataran pencegahan saja, yang membuatnya baru bergerak ketika bencana sudah terjadi. Penanggulangan dan pencegahan, sebetulnya tidak cukup dengan membangun infrastruktur fisik pengendali. Akan tetapi, membutuhkan langkah lain berupa pengelolaan lingkungan hidup pun haruslah diperhatikan. Karena ketika ekologinya tidak diperbaiki, maka musibah akan terus terjadi.
Begitu pula dengan persoalan skala prioritas anggaran negara, yang masih harus dipertanyakan. Karena sering dijumpai adanya pembiayaan yang digunakan untuk berbagai proyek dan perencanaan yang tidak tepat kepada sasaran. Misalnya saja, pembangunan proyek bandara, kereta api cepat, dan lainnya; yang tentu membutuhkan biaya yang sangat besar padahal tidak terlalu penting dilakukan.
Negara seharusnya melakukan mitigasi, yakni dengan memastikan penggunaan konstruksi tahan getaran gempa, yang daya kuatnya sesuai dengan standar kualitas bangunan. Selain itu, membangun fasilitas umum dengan ukuran kekuatan yang tinggi juga memastikan kekuatan infrastruktur vital yang sudah ada. Di samping itu, dilakukan pula perencanaan permukiman guna mengurangi tingkat kepadatan hunian pada daerah yang rawan bencana.