Opini

Menyoal Ibu Kota Nusantara, Ketahanan Pangan dan Pertanyaan Keberlanjutan

112
×

Menyoal Ibu Kota Nusantara, Ketahanan Pangan dan Pertanyaan Keberlanjutan

Sebarkan artikel ini

Oleh Royanita Intan M.S., S.Tr. Ds

Menyoroti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang masif beberapa tahun terakhir. Proyek pembangunan IKN terus berlanjut, meskipun ada perlambatan dalam pengerjaannya. Menteri Pekerjaan Umum Doddy Hanggodo menyatakan bahwa saat ini pemerintah memprioritaskan ketahanan pangan dan berupaya mencapai swasembada. Dalam rapat dengan Komisi V DPR, Doddy menyebut perlambatan ini disebabkan oleh kekhawatiran Presiden Prabowo Subianto terhadap potensi eskalasi konflik internasional yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan Indonesia. Presiden menekankan pentingnya kemandirian pangan sebagai langkah antisipasi menghadapi kemungkinan krisis pangan global. “Karena yang dikhawatirkan adalah perang benar-benar terjadi secara masif kemudian kemampuan kita untuk swasembada pangan belum terjadi dan kita masih butuh beras sana sini. Itu dikhawatirkan akan menjadi masalah sosial yang akan lebih besar, makannya ketahanan pangan menjadi fokus utama,” ucap Mentri Pekerjaan Umum, Doddy Hanggodo.

Pembangunan masif IKN yang dijalankan dalam 2 tahun belakang ini menmbuahkan hasil, progres pembangunan tahap 1 IKN mencapai 89 persen lebih dari 5 tahap yang tertera pada Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Nusantara oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat. Dan per 16 September IKN pun resmi dibuka untuk umum yang mendaftar di aplikasi IKNow. Yang membuat pengamat yakin, dibukanya IKN ini pastilah salah satu upaya untuk menggiring opini publik.
Namun, beberapa pengamat mempertanyakan: apakah IKN benar-benar dibangun demi kepentingan rakyat, ataukah ia menjadi proyek yang lebih menguntungkan para kapitalis, sementara rakyat hanya menjadi simbol tanpa manfaat nyata?

Melihat beberapa bulan lalu untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI pada Agustus 2024 di IKN, Pemerintah menghabiskan anggaran sekitar 23-87 Milyar (CNBC) di tengah tekanan ekonomi yang dialami rakyat. Sedangkan dalam program menjamin terpenuhinya hak-hak mendasar rakyat, bebernya, berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan, yang nyata akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia mereka berat untuk mengalokasikan anggaran.

Belum lagi, penggusuran paksa rumah warga yang sampai sekarang tidak ada kabar jelas pertanggung jawaban. Malah, OIKN membantah tuduhan penggusuran lahan untuk pembangunan IKN, lantaran lantaran tidak berizin dan tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang fasilitas negara. Sungguh miris.

Dari segi pendekatan, pembangunan IKN ini sangat dipengaruhi oleh prinsip kapitalisme, di mana tujuan dan dampaknya lebih berfokus pada pemanfaatan ekonomi jangka panjang, yang melibatkan investasi besar dari kalangan swasta dan luar negeri. Namun, investasi yang diharapkan dari sektor swasta justru minim, mengakibatkan beban pembiayaan dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menimbulkan pertanyaan: bila investor enggan mendukung proyek IKN, apakah alasan yang mendasari pemerintah tetap melanjutkan pembangunan ini?

*Kritik Pembangunan IKN*
Jika dicermati, pembangunan IKN mengedepankan logika kapitalisme, yakni menargetkan pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi. Namun, kenyataan menunjukkan minat investor masih rendah. Karena itu, biaya pembangunan sebagian besar harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa proyek IKN bisa mangkrak, apalagi jika dukungan finansial terus terbatas.
Pertama, pembangunan IKN saat ini dianggap banyak pihak sebagai proyek yang mengatasnamakan rakyat tetapi lebih menguntungkan segelintir kapitalis. Dari segi tata kelola, terdapat indikasi bahwa pemindahan ibu kota ini mungkin akan mengorbankan sebagian besar warga lokal yang terpinggirkan atau harus beradaptasi dengan perubahan drastis di daerahnya. Pembangunan berskala besar sering kali menyebabkan perubahan pada harga tanah, biaya hidup, dan akses ekonomi yang umumnya lebih menguntungkan kaum investor dibandingkan masyarakat lokal.

Kedua, dalih pemerintah yang menyebutkan fokus pada swasembada pangan terkesan kurang terealisasi di lapangan. Realitanya, harga bahan pangan masih fluktuatif, ketersediaan pangan belum sepenuhnya terjamin, dan beberapa komoditas masih bergantung pada impor. Bahkan, fakta bahwa Presiden dan pejabat tinggi belum berkantor di IKN memberikan sinyal kuat bahwa infrastruktur di sana belum cukup matang untuk menjadi pusat pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan melambatnya pembangunan, yang kini terancam mangkrak karena keterbatasan anggaran negara dan kurangnya minat dari investor.

Di tengah klaim bahwa pemerintah fokus pada swasembada pangan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketersediaan dan harga pangan masih belum stabil. Hal ini semakin dipertegas dengan lambatnya realisasi pusat pemerintahan di IKN, mengingat bahkan presiden dan pejabat tinggi lainnya belum menetap di sana. Padahal, kehadiran pemimpin di ibu kota baru bisa menjadi dorongan psikologis bagi masyarakat untuk mendukung pemindahan pusat pemerintahan.

Pengembangan kawasan IKN membutuhkan lahan yang luas, sebagian di antaranya adalah wilayah milik masyarakat lokal atau hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bertani, berkebun, atau menggantungkan mata pencaharian. Kondisi ini memicu konflik agraria, terutama karena masyarakat sering kali merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan atau negosiasi lahan. Banyak penduduk yang terpaksa hengkang dari lahan mereka tanpa jaminan kompensasi yang memadai. Dampaknya, mereka kehilangan sumber penghidupan dan semakin sulit mendapatkan akses terhadap tanah yang layak untuk bercocok tanam atau mendirikan tempat tinggal.

Selain itu aktivitas konstruksi skala besar di IKN, berpotensi merusak ekosistem hutan tropis yang kaya akan sumber daya air dan oksigen. Pembukaan lahan dan deforestasi menurunkan kapasitas daerah tersebut dalam menyerap dan mempertahankan cadangan air. Akibatnya, risiko krisis air bersih dapat meningkat, terutama bagi masyarakat sekitar yang bergantung pada air tanah dan sungai. Hilangnya hutan di wilayah ini juga meningkatkan risiko banjir dan degradasi kualitas air, yang dapat menimbulkan masalah kesehatan dan mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat lokal.

Tidak cukup juga dengan konflik agraria, dan kualitas air yang tercemar, kegiatan konstruksi dalam skala besar selalu berpotensi mencemari lingkungan dengan debu, emisi gas dari kendaraan berat, serta limbah konstruksi. Ini tidak hanya mempengaruhi kualitas udara tetapi juga kesehatan masyarakat sekitar. Lingkungan yang tercemar berpotensi meningkatkan risiko gangguan kesehatan, seperti penyakit pernapasan dan infeksi. Hal ini tentunya berdampak langsung pada kualitas hidup warga yang tinggal di sekitar proyek pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *