Opini

Menyelesaikan Kisruh Ojek Online dan Konvensional Perlu Sistem Transportasi yang Terintegrasi

201

Oleh : Ari Nurainun, SE
(Aktivis Muslimah)

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan larangan angkutan transportasi online atau daring mengangkut penumpang di sejumlah fasilitas publik di Balikpapan, dinilai belum memenuhi indikasi adanya persaingan usaha tidak sehat. Keputusan itu dikeluarkan setelah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil Dinas Perhubungan (Dishub) Balikpapan atas Surat Edaran kebijakan larangan bagi angkutan transportasi online yang diterbitkan pada 22 April 2024 tersebut

Selanjutnya pihaknya mengonfirmasi alasan terkait penerbitan surat edaran bernomor 551.2/749/Dishub tentang Larangan Pengambilan Penumpang Bagi Angkutan Sewa Khusus Berbasis Online. Khususnya larangan yang ditetapkan di sembilan titik ruang umum public (public space) yang ada di Balikpapan.

Dalam penjelasannya Andriyan selalu Ketua KPPU Kanwil V Samarinda mengatakan, kepentingan KPPU dalam larangan transportasi online ini adalah menjaga kepentingan umum. Serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif, dan mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sesuai dengan ketentuan persaingan usaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek, Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999).

Sementara itu, Kepala Dishub Balikpapan Adwar Skenda Putra menjelaskan, kebijakan larangan tersebut, untuk menjaga kondusivitas, kelancaran lalu lintas, dan keselamatan. Kebijakan itu dibuat untuk merespons perselisihan antara pengemudi transportasi online dengan transportasi umum yang sering terjadi di Pelabuhan Semayang dan Bandara Sepinggan. Selain itu surat edaran ini bersifat sementara. Dan akan dicabut apabila gesekan antara transportasi online dan konvensional sudah berhenti.

Minimnya Lapangan kerja, penyebab utama gesekan antara transportasi online dan konvensional

Berdasarkan data di Februari 2024, terdapat sekitar 214 juta penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut 149,38 juta tercatat sebagai angkatan kerja. Dibandingkan Februari tahun lalu, angka tersebut meningkat 2,76 juta orang atau tumbuh 1,88%. Namun, yang terserap di dunia kerja hanya 142,18 juta. Artinya ada 7,2 juta orang pengangguran atau tidak punya pekerjaan.

Bagaikan bumi dan langit, jumlah pencari kerja di Indonesia jauh di atas lowongan kerja yang tersedia. BPS mencatat pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937.176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya berjumlah 59.276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan oleh sekitar 16 warga. Jumlah tersebut belum ditambah pekerja asing yang keberadaannya makin didukung regulasi.

Per Februari 2023, BPS mencatat masih terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Walaupun dari tahun ke tahun pencari kerja makin turun, tetapi jumlah lowongan kerja pun jauh makin menurun. Ketimpangan ini tentu terus menambah jumlah keluarga miskin dan kian menurunkan tingkat kesejahteraan bangsa. Artinya kisruh antara transportasi online dan konvensional hanyalah akibat dari minimnya lowongan kerja.

Kapitalisme penyebab kesenjangan dan ketegangan sosial

Tingginya tingkat pengangguran adalah salah satu problem klasik yang tak terjawab oleh sistem ekonomi kapitalisme. Persoalan ini tidak hanya dialami oleh negara berkembang, namun juga oleh negara-negara maju. Tengoklah kondisi AS dan Cina yang saat ini pun tengah dihantam persoalan tingginya pengangguran.

Exit mobile version