Setidaknya ada tiga pemyebab pengangguran senantiasa menjadi persoalan di sistem ini. Pertama, sistem ini fokus kepada keuntungan individu pemilik. Sebuah perusahaan akan selalu menekan biaya produksi untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Elemen biaya produksi yang paling mudah untuk ditekan adalah upah pekerja. Alhasil, upah rendah dan PHK disebut sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang akan makin mengurangi jumlah lowongan kerja.
Kedua, persaingan bebas antarperusahaan akan menciptakan kondisi “saling caplok”. Perusahaan yang memiliki modal besar akan mencaplok perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai oleh segelintir orang. Pengusaha kecil yang perusahaannya diakuisisi, pada akhirnya akan mengantre untuk menjadi pekerja. Contohnya, fenomena kerugian supir dan pengusaha transportasi konvensional di tengah menjamurnya transportasi online. Kendaraan yang lebih bagus, kemudahan akses internet, keleluasaan trayek menjadikan warga yang tinggal di lingkungan perumahan maupun wilayah yang tidak bisa dijangkau angkutan umum lebih memilih menggunakan transportasi online. Walhasil, penumpang angkutan konvensional menjadi sepi dan menurunkan pendapatan mereka. Inilah pemicu gesekan antara mereka
Ketiga, negara abai. Sistem kapitalisme menyerahkan seluruh urusan umat kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Walhasil, kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan.
Jadi, ketika dikatakan rakyat Indonesia sulit untuk menciptakan wirausaha, sejatinya karena iklim usahanya tidak mendukung. Rakyat dengan keterbatasan modalnya tentu akan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang dengan mudah mengakses modal untuk menambah skala usahanya.
Dari sini, jelaslah bahwa yang menyebabkan kesenjangan yang makin parah antara jumlah pencari kerja dan tersedianya lowongan kerja adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini tidak menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam terpenuhinya kebutuhan rakyatnya.
Sistem Transportasi yang terintegrasi
Tata kelola transportasi seharusnya bertujuan memenuhi hajat publik, khususnya pemenuhan keselamatan hajat transportasi publik. Dalam hal ini negara tidak boleh menjadi regulator kepentingan operator (korporasi), melainkan wajib menjadi pihak yang mengurusi dan bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Ini sebagaimana sabda Rasul saw.,
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)
Kemudahan akses transportasi mutlak menjadi tanggung jawab Negara. Untuk itu, Negara juga berkewajiban menjamin ketersediaan transportasi publik baik dalam kota maupun antar kota dengan sarana yang memadai. Penyediaan moda transportasi publik dengan kelengkapannya, baik darat, laut, maupun udara, juga menjadi tanggung jawab Negara dengan prinsip pelayanan, yaitu sebagai penanggung jawab dan pelindung (raa’in dan junnah). Dengan prinsip ini, negara akan berupaya semaksimal mungkin menyediakan moda transportasi dengan teknologi terkini dengan tingkat keselamatan yang tinggi, serta para awak yang terdidik dan terampil.
Penyediaan moda transportasi dan kelengkapannya tidak diserahkan pada operator yang hanya berhitung untung rugi. Demikian pula, sarana lain yang sangat dibutuhkan dalam transportasi darat, laut, maupun udara harus disediakan dan dikelola secara langsung oleh negara.
Pembiayaan untuk semua itu didapatkan melalui pengelolaan berbagai kekayaannya secara benar (sesuai syariat Islam) sehingga Negara akan memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawab pentingnya. Sehingga polemik antar penyedia layanan transportasi tidak akan terjadi. Karena negara terjun langsung dalam mengatur dan melayani warga dengan pelayanan prima. Wallahu’alam bi showab