Opini

Mengoptimalkan Beasiswa Luar Negeri: Peluang dan Tantangan

108

Oleh: Yauma Bunga Yusyananda
(Member Ksatria Aksara Kota Bandung)

Beasiswa luar negeri sering kali dianggap sebagai jembatan menuju kesuksesan akademis dan profesional. Baru-baru ini, empat guru Sekolah Dasar dari Kota Bandung—Ayundha Nabilah, Dini Rahmawati, Sri Wulandari, dan Asih Kuswandari—berhasil lolos dalam seleksi beasiswa untuk mengikuti program Microcredential Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Edukasi di BuckLER Center, The Ohio State University, Amerika Serikat. Program ini, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GPK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Tahun 2024, bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru di seluruh Indonesia. Ini adalah contoh positif bagaimana beasiswa luar negeri dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan profesional (bandung[dot]go[dot]id, 08/07/2024).

Namun, tidak semua beasiswa luar negeri dapat dianggap sebagai kesempatan positif tanpa tantangan. Contohnya adalah beasiswa yang diperoleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, untuk mengikuti program belajar di Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh American Jewish Committee (AJC). Meskipun tampaknya berfokus pada dialog antaragama dan pertemuan pejabat pemerintah, komite ini diduga mendukung agenda politik yang kontroversial terkait Yahudi dan Israel (tvonenews 25/07/2024). Hal ini dapat memicu konflik. karena mereka masih menjajah Palestina. Dan kita tidak pantas bekerjasama apapun dengan negara yang menjajah kaum muslim seperti mereka.

Salah satu kekhawatiran utama adalah pengaruh terhadap identitas diri, terutama dalam mempertahankan prinsip-prinsip agama. Ketika belajar di luar negeri, individu mungkin terpapar pada budaya dan ideologi yang berbeda, yang dapat mempengaruhi praktik keagamaan dan identitas pribadi. Mengelola waktu antara tuntutan akademis dan kewajiban agama memerlukan perencanaan yang matang untuk menjaga keseimbangan.

Risiko keterlibatan dengan agenda politik juga harus diperhatikan. Beberapa program beasiswa mungkin memiliki kerjasama politik atau agenda tertentu yang dapat mempengaruhi perspektif peserta. Oleh karena itu, penting untuk melakukan riset mendalam tentang lembaga penyelenggara untuk menghindari konflik kepentingan.

Maka dalam memilih beasiswa, baik di dalam negeri maupun luar negeri, penting untuk memahami latar belakang lembaga penyelenggara dan tujuan dari beasiswa tersebut. Apakah fokusnya pada kepemimpinan, pengembangan akademis, atau agenda lainnya? Pendidikan seharusnya tidak hanya mengukur nilai akademis tetapi juga sikap dan solusi yang diberikan dalam menghadapi berbagai tantangan.

Kita juga harus ingat dengan adanya fenomena brain drain, atau hengkangnya cendekiawan dari negaranya sendiri, menjadi isu yang signifikan. Banyak mahasiswa Indonesia memilih untuk menetap di luar negeri setelah studi mereka selesai. Suryopratomo, Duta Besar Indonesia di Singapura, menekankan perlunya Indonesia menawarkan kehidupan yang lebih baik dan peluang yang lebih menarik untuk mengatasi masalah ini. Negara perlu menyediakan lingkungan yang kondusif dan pendidikan berkualitas untuk mempertahankan generasi unggul di tanah air.

Exit mobile version