Oleh Endah Dwianti, S.E., CA., M.Ak.
(Pengusaha)
Hari Guru Nasional 2024 dirayakan dengan berbagai upacara dan sambutan resmi. Tema besar tahun ini, seperti disampaikan dalam pidato Menteri Agama adalah penguatan peran guru sebagai ujung tombak pendidikan yang berkualitas.(Kemenag.go.id, 2024)
Namun, di tengah gegap gempita peringatan ini, berbagai persoalan kompleks yang melibatkan guru dan sistem pendidikan terus menjadi perhatian. Ironi yang muncul adalah bagaimana guru, yang seharusnya dihormati sebagai pilar pendidikan, justru sering menjadi korban ketidakadilan dalam sistem pendidikan saat ini.
Guru: Antara Pahlawan tanpa Tanda Jasa dan Korban Sistem Rusak
Guru sering dijuluki sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” tetapi realitasnya menunjukkan bahwa penghargaan terhadap guru tidak sebanding dengan peran strategis yang mereka emban. Banyak guru, terutama honorer, menerima gaji jauh di bawah standar kelayakan.
Menurut data terbaru, rata-rata gaji guru honorer hanya berkisar Rp500.000 hingga Rp1.000.000 per bulan. Kondisi ini tentu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi untuk meningkatkan kualitas profesional melalui pelatihan atau pendidikan lanjutan.
Selain gaji rendah, guru juga sering menghadapi kriminalisasi dalam menjalankan tugas. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap guru, seperti dilaporkan oleh berbagai media, mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap profesi ini.
Guru yang berupaya mendisiplinkan siswa sering kali berujung pada gugatan hukum, bahkan pemecatan. Hal ini menimbulkan rasa tidak aman bagi guru dalam menjalankan tugas mereka.
Ironisnya, di sisi lain, sejumlah guru justru melakukan tindakan kontraproduktif terhadap profesinya. Kasus bullying, kekerasan fisik, bahkan pelecehan seksual oleh oknum guru menjadi sorotan publik.
Ada pula guru yang terlibat praktik perjudian atau pelanggaran etika lainnya. Fenomena ini mencerminkan bagaimana guru menjadi korban dari sistem pendidikan yang rusak dan kurang mendukung profesionalisme mereka.
Pengaruh Sistem Pendidikan yang Kapitalistik
Masalah-masalah ini tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan yang didominasi oleh paradigma kapitalisme. Dalam sistem ini, pendidikan dipandang sebagai komoditas, dan guru sering dianggap sebagai pekerja biasa.
Beban administratif yang berat, minimnya pelatihan berkualitas, serta kurangnya dukungan emosional dan moral membuat guru sulit melaksanakan tugas mereka dengan optimal. Beban yang begitu berat harus ditanggung oleh guru tanpa kompromi.
Di sisi lain, paradigma pendidikan kapitalistik lebih menekankan pada pencapaian nilai akademis semata, tanpa memperhatikan pembentukan karakter siswa. Guru terjebak dalam lingkaran tuntutan hasil, sementara kualitas pembelajaran dan pengembangan moral siswa sering diabaikan. Akibatnya, siswa tidak hanya kehilangan pembimbing yang ideal, tetapi juga mengalami degradasi nilai-nilai moral.