Oleh Nani Sumarni
Aktivis Dakwah
Musim hujan telah tiba, masyarakat di berbagai daerah kembali dihadapkan pada ancaman banjir yang seolah telah menjadi rutinitas tahunan. Genangan air yang melumpuhkan aktivitas, kerugian materiil, hingga derita para korban seringkali dianggap sebagai bagian “biasa” dari siklus alam.
Dilansir dari media kompas.com, pada Kamis sore, 21 November 2024, tanggul Sungai Cisunggalah yang terletak di Kampung Puja, Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, jebol, mengakibatkan 90 rumah terendam, dengan beberapa di antaranya mengalami kerusakan. Setelah insiden tersebut, warga, petugas, dan relawan bekerja sama membersihkan puing-puing tanggul yang jebol serta lumpur, sampah, dan ranting yang menumpuk di sekitar pemukiman.
Ironisnya, penanganan serius untuk mencegah atau mengatasi dampak banjir tampaknya masih menjadi angan-angan. Bantuan dari pemerintah sering kali terlambat atau bahkan tak kunjung tiba, memaksa warga dan komunitas mandiri untuk menggalang dana dan menolong diri mereka sendiri.
Banjir saat ini bukan sekadar bencana alam, melainkan peringatan atas perilaku manusia yang merusak lingkungan. Penyebab utamanya meliputi kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan, alih fungsi lahan yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air, serta pembangunan yang tidak terencana tanpa memperhatikan jalur air dan area resapan.
Disamping itu, lemahnya penegakan aturan kebersihan dan pengawasan pemerintah terhadap tata ruang turut memperburuk kondisi, menciptakan kerusakan lingkungan yang memicu banjir.
Inilah buah dari sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan materi telah menciptakan kebijakan dan praktik yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Alih-alih memberikan solusi, kapitalisme justru menjadi penyebab utama kerusakan yang memicu bencana seperti banjir.
Dalam sistem kapitalis, nilai utama yang diutamakan adalah profit. Dengan orientasi semata-mata pada keuntungan ekonomi, tata kota dan tata lahan sering kali dirancang tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Alih fungsi lahan, misalnya, dilakukan secara masif untuk membuka ruang bagi industri, perumahan elit, atau pusat perbelanjaan, tanpa memikirkan dampak terhadap daya serap air dan aliran sungai. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem diratakan untuk lahan komersial, sementara daerah resapan air semakin tergerus oleh beton dan aspal.
Pembangunan yang hanya mengutamakan kepentingan ekonomi juga mencerminkan lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah. Di bawah sistem kapitalis, kebijakan sering kali dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar atau kepentingan segelintir elite ekonomi, bukan untuk melindungi masyarakat atau lingkungan. Misalnya, izin pembangunan diberikan tanpa kajian lingkungan yang memadai, atau proyek-proyek besar diizinkan meskipun jelas-jelas merusak ekosistem. Akibatnya, banjir menjadi masalah yang terus berulang.
Tidak hanya itu, dalam kapitalisme, pengelolaan sampah dan limbah juga sering diabaikan. Sampah menumpuk di sungai dan saluran air karena minimnya investasi dalam infrastruktur pengelolaan limbah yang efisien. Bahkan, perusahaan besar sering kali membuang limbahnya secara sembarangan tanpa tanggung jawab, hanya untuk menghemat biaya operasional.
Lebih buruk lagi, kapitalisme mengikis kesadaran kolektif masyarakat. Sistem ini mendorong pola pikir konsumtif yang mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, eksploitasi sumber daya alam, dan gaya hidup tidak ramah lingkungan adalah hasil dari budaya materialistis yang ditanamkan oleh kapitalisme.
Masalah banjir bukan hanya tentang curah hujan tinggi atau kondisi alam yang tidak bersahabat. Lebih dari itu, banjir adalah persoalan sistemik yang mencerminkan ketidakteraturan dalam pengelolaan lingkungan, tata ruang, dan perilaku manusia. Untuk menyelesaikan masalah ini, kita memerlukan pendekatan sistemik yang komprehensif, dan Islam menawarkan solusi yang holistik.
Berbeda dengan Islam, Islam mengajarkan untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dengan alam. Konsep ini dikenal sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi), di mana manusia bertanggung jawab mengelola bumi dengan bijak. Prinsip ini mencakup pelestarian lingkungan, pengelolaan sumber daya, dan penghindaran dari perilaku yang merusak. Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”(QS. Al-A’raf: 56)
Dalam konteks banjir, Islam mengajarkan pentingnya mencegah kerusakan melalui perencanaan tata ruang yang baik. Dalam sejarah peradaban Islam, tata kota seperti Baghdad dan Madinah dirancang dengan memperhatikan sistem irigasi dan pengelolaan air yang efisien. Pembangunan dalam Islam selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Islam juga mengatur tentang kebiasaan individu yang berkaitan dengan kebersihan dan tanggung jawab sosial. Larangan membuang sampah sembarangan bukan hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga bagian dari iman, sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.”
Lebih jauh lagi, Islam menawarkan sistem ekonomi dan politik yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Sistem ekonomi Islam menolak eksploitasi sumber daya secara berlebihan demi keuntungan segelintir orang. Islam mengajarkan keadilan dalam distribusi sumber daya, termasuk akses terhadap air dan lahan. Jika prinsip ini diterapkan, alih fungsi lahan yang sering menjadi penyebab banjir dapat dicegah.
Selain itu, tanggung jawab negara dalam Islam sangat jelas. Negara harus berperan aktif dalam menjaga kesejahteraan rakyat, termasuk dengan membangun infrastruktur yang kokoh dan melakukan mitigasi bencana. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, terkenal dengan kebijakannya dalam mengatasi bencana kelaparan dan kekeringan melalui langkah-langkah yang strategis dan berbasis kemaslahatan umat.
Penerapan sistem Islam secara menyeluruh dapat menjadi solusi atas masalah banjir yang kompleks. Sistem ini tidak hanya mengatur aspek teknis, tetapi juga membangun kesadaran individu dan kolektif untuk menjaga amanah sebagai pengelola bumi. Dengan kembali kepada aturan Allah Swt., kita tidak hanya menyelesaikan masalah banjir, tetapi juga membangun kehidupan yang lebih harmonis dan berkah.
Wallahualam Bissawab