OpiniOpini

Memimpikan Ketahanan Pangan di Negeri Konoha

116

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Dikutip dari mediaindonesia.com, Presiden Joko Widodo memaparkan anggaran ketahanan pangan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 hanya sebesar Rp124,4 triliun. Pengamat Pertanian Syaiful Bahari melihat nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional. “Seharusnya pemerintah memperjelas apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan, apakah dengan jalan peningkatan produktivitas atau penguatan cadangan pangan nasional atau memperbesar bantuan pangan seperti yang terjadi di 2023-2024,” ucap Syaiful saat dihubungi, Jumat (16-08-2024).

Mirisnya lagi, produktivitas pertanian yang merupakan salah satu satu kunci keberhasilan, anggarannya dipangkas hingga hampir 50% untuk tahun 2025. Pada 2024, anggaran untuk Kementan sebesar Rp14 triliun, tetapi pada 2025 merosot tajam menjadi hanya Rp8 triliun. Padahal di tahun 2015 saja anggaran untuk Kementan saja saat itu sudah mencapai Rp34 triliun. Namun setelahnya, setiap tahun anggarannya dipangkas. Melihat hal ini sepertinya di Konoha tak ada pengelolaan yang serius, termasuk kebijakan terkait ketahanan pangan. Kebijakan kontraproduktif seakan biasa terjadi.

Kebijakan Kapitalistik Biang Keladi

Berbagai kebijakan terkait ketahanan pangan memang dilakukan di Konoha. Mulai dari praproduksi (subsidi pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian, bantuan benih ikan dan pangan, hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat)), produksi (food estate, pembangunan jaringan irigasi, serta pengembangan kawasan padi dan jagung), distribusi dan pemasaran (pembangunan pelabuhan, jalan tol, kereta api, usaha tani, cadangan pangan nasional, stabilitas pasokan dan harga pangan, revitalisasi pasar rakyat, hingga KUR UMKM), sampai sisi konsumen (kartu sembako, pemberian makan tambahan balita berisiko stunting, hingga Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi janji Prabowo saat kampanye Pilpres), namun semuanya gagal.

Asuhan kapitalisme menjadi sebab kegagalan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sistem politik ekonomi pangan yang bercorak kapitalistik itu telah jelas dan terbukti menjadi pangkal ketahanan pangan sulit terwujud. Negara hanya sebatas menjadi regulator dan fasilitator. Realisasinya, negara menjadi tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus urusan rakyatnya dan menyerahkan berbagai urusan rakyat pada korporasi. Jika sudah demikian, maka orientasi kebijakan bukan lagi pada kemaslahatan rakyat melainkan keuntungan perusahaan.

Penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi ini bekerja bukan untuk rakyat, tetapi untuk oligarki. Tidak heran, berbagai kebijakan akan menguntungkan segelintir elit dan menzalimi rakyat banyak.

Memprihatinkan. Saat ini fokus kebijakan ketahanan pangan ternyata malah pada aspek konsumsi. Program Makan Bergizi Gratis, kartu sembako, dan lainnya, implementasi realisasinya begitu rumit. Adaptasinya pun sulit dan berpotensi menjadi bancakan korupsi. Politik pragmatis berlalu lalang bagai debu beterbangan. Kondisi ini menjadi makin buruk akibat adanya paradigma bisnis ala kebijakan kapitalistik.

Pembangunan infrastruktur di Konoha untuk mendukung distribusi berfokus pada kemaslahatan korporasi. Buktinya, pembangunan infrastruktur lebih banyak di perkotaan. Padahal sebagian besar tanaman pangan ditanam di perdesaan yang jauh dari akses pasar. Dipersulit dengan subsidi BBM yang semakin minim, berdampak pada distribusi yang makin sulit dan mahal.

Sungguh sstem ekonomi kapitalisme telah menyerahkan faktor harga pada mekanisme pasar. Akibatnya memicu munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bermodal besar. Seluruh rantai pasok mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi dikuasai oleh korporasi-korporasi besar. Praktik oligopoli pada beras dan gula, misalnya, telah menyebabkan harga jadi tidak stabil dan rakyat pun kesulitan dalam mengaksesnya.

Belum lagi kebijakan impor di Konoha lebih disukai daripada meningkatkan produktivitas pertanian. Kebijakan saat ini, walau sudah ada program pengembangan sawah, tetapi realitas alih fungsi lahan pertanian menjadi hunian dan industri makin banyak dilakukan. Atas nama proyek strategis nasional (PSN), lahan sawah rakyat harus rela digusur.

Sudahlah lahan pertanian terus dialihfungsikan, food estate pun terbukti gagal memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kebijakan impor yang terus terjadi, sejatinya akibat kuatnya para importir menyetir kebijakan negara. Semua ini makin nyata mengikis kedaulatan pangan negara yang akan berimbas pada ketahanan pangan yang diharapkan.

Bagai mimpi di siang bolong, ketahanan pangan seakan hanya sebuah harapan yang jauh dari jangkauan. Butuh paradigma pengganti yang mampu mengganti kebijakan yang tak pasti.

Paradigma Politik Pangan dalam Islam

Exit mobile version