Ani Hayati, S.hi ( Pegiat Literasi)
Penanganan kasus korupsi di Negeri ini nampaknya belum bersungguh -sungguh, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015–2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kejaksaan Agung pun membeberkan perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015–2023 di Kementerian Perdagangan yang menjerat Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong.(tvonenews.com/31 /10/2024).
Kemudian kasus berikutnya adalah dugaan gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dalam kasus pemberian fasilitas jet pribadi. Dimana Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto menduga putusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani dugaan kasus gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep sarat intervensi. Hal tersebut disampaikan Hasto saat menanggapi pernyataan KPK yang menyatakan, pemberian fasilitas kepada putra bungsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) itu bukanlah gratifikasi. “Kita melihat tampilan ada seorang anak presiden yang nyata-nyata itu merupakan bagian dari bentuk gratifikasi, tetapi ada akrobat hukum, sehingga dikatakan tidak ada gratifikasi,” ujar Hasto kepada wartawan di Tangerang, Banten (kompas.com 03/11/2024).
Melihat fakta di atas apakah ada perlakuan yang sama terhadap kasus tom Lembong dan Kaesang Pangarep?. Ini jelas ada perbedaan perlakuan terhadap kasus Tom Lembong dan Kaesang menunjukkan bahwa negara bersikap tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi. Sikap pemerintah yang tebang pilih juga tampak pada beberapa kasus korupsi yang penanganannya lambat dan bahkan ada yang tidak kunjung selesai meski sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Misalnya kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun, juga kasus Bank Century, dana BLBI, dan KTP elektronik yang hingga kini belum tuntas.
Praktik tebang pilih dalam pengusutan korupsi semacam ini sungguh biasa dalam sistem sekuler kapitalisme. Dimana yang kuat yang menang. Apalagi kekuasaan dapat memainkan hukum.
Mengapa kasus korupsi tidak bisa dibendung bahkan justru meningkat walaupun berganti kabinet? Wajar, dalam sistem kapitalisme aturan dibuat sesuka hati manusia demi melanggengkan kekuasaan, termasuk di antaranya memuluskan korupsi. Sistem hukum dan persanksian dibuat dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga rezim berkuasa akan aman dari jerat hukum meski bertindak korup. Sebaliknya lawan politik akan dijegal dengan segala cara agar terkena jerat hukum. Kemudian tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Agama hanya boleh termanifestasi dalam sektor privat, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan dalam sektor publik yang salah satunya adalah sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir dan mengatur. Akibatnya, kekuasaan berjalan liberal, penguasa pun seolah-olah berwenang untuk berbuat semaunya demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya, termasuk adanya tindakan korup.