Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Gempuran produk manufaktur China semakin membanjiri pasar domestik belakangan ini, mulai dari tekstil hingga keramik. Tak ayal hal ini membuat Indonesia panik dan khawatir jika nantinya industri dalam negeri tidak bisa mengimbangi produk China bahkan kalah saing dan gulung tikar.
Impor barang murah dari China sebetulnya sudah lama terjadi. Bahkan China terus melakukan inovasi dan penetrasi terhadap pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
Menurut Ekonom Universitas Brawijaya, Wildan Syafitri, perubahan selera pasar yang cepat serta potensi pasar di masa mendatang bisa diadaptasi dengan baik oleh manufaktur China dan didukung infrastruktur yang baik serta kemudahan investasi. Jika kondisi ini terus berlangsung tidak menutup kemungkinan lambat laun akan mematikan industri dalam negeri. Industri dalam negeri perlu beradaptasi lebih baik dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah untuk menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini. (CNBC Indonesia.com, 26/7/2024)
Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, sesungguhnya pernah mengingatkan bahwa pasar negara berkembang termasuk beberapa negara G20 prihatin atas kelebihan kapasitas industri China. Yellen juga mendorong untuk memberikan tekanan kepada Beijing agar mengubah model ekonominya. Dalam wawancaranya kepada Reuters, ia mengatakan bahwa ada kekhawatiran tentang China yang berinvestasi berlebihan di pabrik dan membanjiri dunia dengan barang-barang murah yang terus meluas. (Sindonews.com, 28/7/2024)
Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, kinerja ekspor-impor Tiongkok tentu akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Menurut Komite Tetap Asia Pasifik Kadin Indonesia, Yohanes Lukiman, naiknya ekspor dan turunnya impor China akan turut mempengaruhi Indonesia. Saat ini, over capacity China telah berdampak pada banjirnya produk China ke Indonesia, akan tetapi di sisi lain kinerja impor China yang menurun membuat permintaan komoditas dari negara mitra dagang termasuk Indonesia juga akan merosot. Kondisi ini membuat Indonesia kebanjiran produk murah China sehingga menekan daya saing produk lokal termasuk UMKM. Akibatnya ancaman PHK dan penutupan pabrik di Indonesia semakin besar. (CNBC Indonesia, 15/7/2024)
Situasi manufaktur hari ini sejatinya adalah buah dari kerjasama dagang antara Indonesia dengan China yang dikenal dengan China Asean Free Trade Area (CAFTA). Perjanjian multilateral ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN. Dari awal, perjanjian ini sudah dicurigai hanya akan menguntungkan salah satu pihak, yakni China. Hal itu terbukti saat ini dengan membanjirnya produk China dan menurunnya impor China dari negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Perjanjian perdagangan seperti CAFTA sejatinya merupakan produk liberalisasi perdagangan sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisasi ini akan berdampak pada matinya industri dalam negeri ketika negara yang bersangkutan tidak siap menghadapi segala tantangan pasar bebas. Sementara industri China mendapat support besar dari negaranya, dalam hal industri manufaktur, sehingga biaya produksi dapat diminimalisir.
Sungguh disayangkan, meski kondisi industri China over kapasitas, akan tetapi pemerintah dinilai kurang cekatan melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri. Sampai saat ini upaya pemerintah masih sebatas rencana menaikkan bea masuk tambahan untuk barang-barang impor termasuk dari China. Lebih dari itu kebijakan bea masuk juga dinilai kurang efektif karena membutuhkan waktu lama untuk merealisasikannya. Hal ini diperkirakan membutuhkan minimal satu tahun karena harus ada penyelidikan dari KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) dahulu, juga surat perintah dari Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan.