Opini

Mayday! Lagi-lagi KDRT, Solusi Sistemis Jangan Ditunda

207
×

Mayday! Lagi-lagi KDRT, Solusi Sistemis Jangan Ditunda

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Lagi dan lagi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seakan jadi hal lumrah di negeri yang konon katanya menjunjung nilai ketimuran. Di negeri Konoha ini KDRT bukanlah hal baru. Kasus demi kasus bagai untaian manik-manik yang dikalungkan di sistem saat ini.

Kasus KDRT yang menimpa selegram yang juga mantan atlit anggar CIN kembali menjadi perbincangan jagat Indonesia setelah CIN mengunggah rekaman kekerasan yang dialaminya.
Kasus CIN merupakan satu dari sekian kasus-kasus KDRT yang terjadi. Baik viral atau tidak, KDRT bukanlah peristiwa biasa. KDRT adalah kasus manusia yang tidak manusiawi.

Dua tahun yang lalu, dikutip dari Komoas 25-09-2022, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak para korban dan saksi untuk berani speak up atas kasus KDRT. Bintang mengungkapkan, keberanian angkat bicara ini untuk memberikan keadilan pada korban dan agar tidak ada lagi kasus KDRT.

Perkiraan yang diterbitkan oleh WHO, 1 dari 3 (30%) perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidup mereka, sebagian besar dilakukan oleh pasangannya. Secara global, hampir sepertiga (27%) perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah terikat dalam suatu hubungan, melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan mereka (WHO, 2024).

Sebetulnya pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai KDRT. UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PADRT) memuat aturan, larangan, hingga sanksi bagi pelaku KDRT. UU ini dibuat dalam rangka memberikan sanksi tegas bagi para pelaku dan meminimalkan KDRT. Namun, alih-alih berkurang, justru tindakan KDRT makin marak.

Kasus KDRT di Indonesia menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sepanjang 2023 mencapai 18.466 kasus kekerasan, dengan 16.351 korban adalah perempuan. Adapun dari jumlah kasus yang ada, 11.324 merupakan kasus KDRT. Hal ini menjadi pengingat yang jelas akan skala ketidaksetaraan gender dan diskriminasi terhadap perempuan yang diakibatkan karena ketimpangan kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

*Masalah Sistemis*

Mayday! KDRT meningkat. KDRT menyergap. Kalangan pasutri atau orang dekat semakin rentan dengan hal ini. Ada relasi yang salah antara laki-laki dan perempuan. Ketika pasangan intim atau orang terdekat juga menjadi pelaku kekerasan, maka relasi yang salah ini menjadi cerminan sistem kehidupan yang berlaku di masyarakat hari ini. Sekularisme kapitalisme sebagai sistem hidup yang diterapkan saat ini menebar kebebasan perilaku, termasuk dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.

Terkait KDRT, mayoritas penyebab maraknya KDRT bisa jadi karena terpicu masalah ekonomi, adanya orang ketiga, pengasuhan anak, dll. Oleh kaum feminis, sumber problemnya dinisbahkan pada konstruksi superioritas suami terhadap istri. Lagi-lagi kaum feminis mengambinghitamkan ketimpangan gender.

Padahal, kekerasan oleh suami bukan semata adanya pembangkangan istri, tetapi bisa jadi karena sikap temperamen suami yang terbentuk lingkungan sekuler. Tindakan KDRT dapat pula disebabkan stres akibat tekanan hidup dan beban kerja yang terbentuk karena lingkungan kapitalistik. Pun, tabiat istri yang lisan dan pergaulannya kurang terjaga karena lingkungan liberal turut memicu terjadinya KDRT.

Dengan demikian, akar masalah KDRT secara hakiki bukan karena ketimpangan gender, melainkan masalah sistemis akibat penerapan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Imbasnya, hubungan suami dan istri tidak diatur sesuai syariat-Nya.

KDRT kepada sesama anggota keluarga bisa saja berawal dari buruknya pola interaksi di antara mereka. Mereka mungkin tidak dekat satu sama lain, meski bisa juga justru karena interaksinya sangat/terlalu dekat.

Namun, satu hal yang pasti, interaksi tersebut tidak bisa berpijak sebatas pada landasan perasaan maupun interaksi kemanusiaan. Interaksi tersebut haruslah berlandaskan kesadaran akan hubungan dengan Sang Khalik, Allah Ta’ala. Melibatkan keberadaan Allah akan mewujudkan interaksi yang tidak menimbulkan rasa kecewa dan terluka. Sehingga peluang bagi dampak KDRT kepada sesama anggota keluarga tidaklah ada. Ini karena berharap kepada manusia tentu jauh berbeda dengan harapan kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut [29]: 41).

Syekh Fudhail bin Iyyadh rahimahullah berkata, “Demi Allah, seandainya engkau benar-benar putus asa dari makhluk hingga engkau tidak berharap sedikit pun dari mereka, niscaya Allah akan memberimu semua yang engkau inginkan.”

Rangkaian kasus KDRT yang terjadi di atas bumi pertiwi, merupakan alarm rapuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Ketahanan keluarga terkoyak hingga tidak kokoh lagi. Dari sekian banyak faktor penyebab KDRT, seperti perselingkuhan, persoalan ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, terjerat judi, dan perbedaan prinsip, salah satu benang merah dari semua penyebab tersebut adalah hilangnya fungsi perlindungan dalam keluarga. Sosok ayah, suami, atau kakek merupakan sosok laki-laki dalam keluarga, sebagai pahlawan yang menjadi pelindung keluarga, seakan lenyap di telan bumi.

Sebagai sosok yang menjadi tempat bergantung keluarga, mereka bekerja keras demi melindungi keluarga dari kelaparan. Mereka juga yang menyediakan tempat tinggal bagi keluarga sehingga terlindung dari panas dan hujan. Mereka juga yang mendidik anak dan istrinya sehingga terlindungi dari kebodohan dan kejahatan. Namun, sayang beribu sayang, fungsi perlindungan itu kian pudar. Para laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga justru tega melakukan kekerasan pada pihak yang seharusnya ia jaga dan lindungi.

Sekularisme telah mendominasi cara pandang manusia terhadap kehidupan sehingga memengaruhi sikap dan pandangan mereka, termasuk sikapnya dalam hubungan keluarga. Sikap yang seharusnya secara fitrah merelasikan hubungan penuh cinta dan kasih sayang, di mana suami sayang pada istri dan demikian pula sebaliknya. Orang tua sayang pada anak-anak dan menantunya, demikian juga sebaliknya. Seakan dikikis habis secara sistemis oleh sistem sekuler kapitalis radikal saat ini.

Di alam sekuler ini perempuan dan anak-anak sulit untuk merasakan ketenangan dalam hidupnya. Rumah (Keluarga) yang menjadi tempat paling aman bagi penghuninya, menjadi neraka dunia saat berada di dalamnya. Fungsi perlindungan nyaris sirna.

Dengan adanya praktik kekerasan dalam rumah tangga, kasih sayang antaranggota keluarga pun hilang. Hubungan keluarga menjadi renggang dan bahkan putus. Gambaran keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah pun tidak terwujud.

Maraknya KDRT menunjukkan mandulnya UU PKDRT, padahal UU ini sudah 20 tahun disahkan sejak 2004. Nyatanya keberadaan UU PKDRT gagal mencegah kasus KDRT, malah jumlahnya makin banyak.

Dengan tingginya jumlah kasus KDRT tampak bahwa negara gagal memberikan jaminan keamanan di dalam rumah pada warga negaranya. Ini karena negara menerapkan sistem sekuler liberal yang memuja kebebasan dan menjauhkan agama dari kehidupan. Dengan penerapan sekularisme liberal, manusia berbuat semaunya tanpa peduli tuntunan agama.

Demikianlah, masalah KDRT adalah masalah sistemis, banyak aspek yang berkaitan satu sama lain. Untuk menyelesaikannya pun idak cukup sekadar parsial, semisal menyelesaikan soal komunikasi suami istri saja. Lebih dari itu, harus juga menyelesaikan problem ekonomi, sosial, hukum, perundangan, serta pemerintahan. Walhasil, masalah KDRT butuh solusi yang sistemis yang tidak bisa ditunda-tunda.

*Paradigma Islam Terkait KDRT*

Sejak syariat Islam turun ke muka bumi, seperangkat solusi bagi kehidupan manusia disertakan di dalamnya termasuk dalam berumah tangga. Islam memiliki paradigma terbaik dalam mengatur hak dan kewajiban suami istri dan mewajibkan keduanya untuk bekerja sama saling menolong membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *