Opini

Masifnya Perang Pemikiran dan Budaya bagi Pemuda

145
×

Masifnya Perang Pemikiran dan Budaya bagi Pemuda

Sebarkan artikel ini

Oleh: Umi Salamah, S.Pd
(Pendidik Generasi)

Rangkaian acara Pekan Kebudayaan Korea resmi dimulai dengan pembukaan meriah di Pantai BSB Balikpapan, Kalimantan Timur (29/11/2024). Direktur Korean Cultural Center Indonesia, Kim Yong Woon, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mempererat hubungan persahabatan dan pertukaran budaya antara Indonesia dan Korea. Sementara itu, Mutiara Marta Lena, Creative Director Nusa Lumina, menyoroti potensi besar Kalimantan sebagai kawasan dengan hutan tropis terbesar kedua di dunia. Spirit yang dibawa Nusa Lumina adalah harmoni antara kemajuan teknologi dan kebudayaan.

Dengan mendominasi dunia saat ini, kebudayaan Korea perlu dibawa ke Kalimantan untuk mempercepat proses transformasi budaya dan teknologi di sini. Pekan Kebudayaan Korea akan berlangsung hingga 15 Desember 2024 dengan berbagai kegiatan menarik di Nusa Lumina. Acara ini didukung oleh Korean Cultural Center Indonesia, Korea Tourism Organization, Diaspora Korea Kalimantan, Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, Pariwisata Kota Balikpapan, Nusa Lumina, dan Pantai BSB. Sebelumnya juga ada delegasi dari SMA Nasional KPS yang mewakili Indonesia untuk mempelajari kebudayaan korea di sana pada 20-28 November lalu. Kemudian, dengan adanya pekan kebudayaan korea dianggap bisa menjadi bentuk pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. Kota Balikpapan sebagai kota kreatif dan bersiap mengikuti nominasi kota kreatif dunia versi UNESCO.

Akar Masalah?

Jika dicermati lebih detail, adanya pekan kebudayaan korea menunjukkan betapa masifnya bentuk penjajahan pemikiran (ghazwul tsaqafiy) di tengah masyarakat. Budaya yang sedang dikembangkan bukan modal yang kita butuhkan untuk menjadi negara besar. Masyarakat kita justru sedang diaruskan menjadi objek pasar budaya sekuler liberal, sekaligus lapak bagi produk industri kapitalis lokal dan internasional. Jika dibiarkan berlarut, maka masyarakat akan kehilangan visi hidup dan pegangan moral hingga menjadi masyarakat pembebek dan pragmatis yang minus rasa tanggung jawab, baik terhadap masa depan dirinya, keluarga, masyarakat, negara, apalagi agama.

Masalahnya, semua berangkat dari paradigma penguasa; mulai soal visi, misi, dan fungsinya dalam bernegara. Juga bergantung pula pada bagaimana pandangan mereka menyangkut potensi masyarakat serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Sayangnya, dalam sistem pemerintahan yang menjauhkan agama dari kehidupan seperti hari ini, posisi penguasa memang hanya regulator dan wasit saja. Penguasa dan negara tidak punya fungsi mengurus dan menjaga umat sebagaimana diajarkan Islam. Mereka hanya hadir demi melegitimasi kerakusan para pemilik modal.

Sungguh, paradigma penguasa dan pembangunan sekuler kapitalistik telah menjauhkan masyarakat khususnya pemuda dari posisi strategisnya sebagai motor peradaban. Bahkan paradigma ini telah membajak potensi masyarakat untuk kepentingan mengukuhkan penjajahan kapitalisme global, khususnya di dunia Islam. Mereka hanya diarahkan menjadi sekrup mesin pemutar roda industri kapitalis, sekaligus menjadi objek pasar bagi produk yang dihasilkan. Fashion, barang-barang konsumsi, produk hiburan dan permainan, semua dipropagandakan sebagai alat meraih kebahagiaan dan prestasi. Hal ini sejalan dengan pengarusan produk pemikiran yang mengubah mindset masyarakat menjadi kian cinta dunia. Hingga pada saat yang sama hilanglah kecintaan akan agama dan perjuangan membangkitkan umatnya. Padahal dalam konteks perang peradaban yang senyatanya sedang terus berjalan, kondisi ini tentu sangat diharapkan oleh musuh-musuh Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *