Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan ketegasannya terkait komitmen pemerintah untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama alokasi anggaran tahun 2025. Komitmen tersebut disampaikan presiden dalam sambutannya di acara Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) secara digital, serta peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0, di Istana Negara, 10 Desember 2024. Presiden Prabowo sangat yakin melalui jalur pendidikan dan kesehatan ini Indonesia mampu keluar dari zona kemiskinan.
Tidak hanya itu, presiden juga berharap perlindungan sosial, bantuan sosial, dan subsidi diharapkan mampu menjadi langkah-langkah menuju kebangkitan ekonomi melalui hilirisasi. Sebagaimana program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai hal strategis yang akan menyelamatkan anak-anak dari masalah gizi diharapkan mampu mendongkrak ekonomi pedesaan, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Karena dengan itu puluhan triliun akan beredar sampai ke daerah-daerah. Meski demikian, pemerintah tetap menjadikan pendidikan dan kesehatan menjadi pilar utama mengatasi kemiskinan. (Presidenri.go.id, 10/12/2024)
Sejalan dengan program pemerintah ini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pun merespon upaya pemerintah tersebut. Mulai 9 Desember 2024, BPJS Kesehatan melakukan perubahan iuran atau penyesuaian iuran kelas 1,2, dan 3. Hal ini tentu sangat mempengaruhi anggaran rumah tangga masing-masing peserta dan membebani rakyat. Meski hal itu dilakukan dalam rangka upaya untuk memberikan akses kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat. (Viva.co.id, 10/12/2024)
Solusi Kapitalisme, Penuh Retorika
Upaya pemerintah dalam peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan memang sudah seharusnya dilakukan, mengingat pendidikan dan kesehatan merupakan sektor yang penting bagi suatu negara. Namun, akankah kebijakan ini benar-benar menjadi solusi masalah kemiskinan? Ataukah hanya sekadar retorika? Karena, sesungguhnya masalah kemiskinan muncul dari banyak faktor, sehingga sulit rasanya jika diselesaikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan dan menjadikannya prioritas utama dalam APBN mendatang. Sementara itu, pendidikan dan kesehatan hanya merupakan bagian dari faktor-faktor tersebut.
Oleh karena itu, dapat dipastikan kebijakan pemerintah tersebut belum bisa menjadi jalan keluar masalah kemiskinan. Karena faktor penyebab kemiskinan begitu kompleks, selain lapangan kerja yang minim, gaji yang tidak memadai, juga terjadinya gelombang PHK sehingga rakyat banyak menganggur dan berdampak pada kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta daya beli rendah. Akibat hal ini menyebabkan tingkat konsumsi juga rendah, banyak usaha yang sepi permintaan dan berakhir dengan gunung tikar.
Selain itu, terjadinya kapitalisasi pada sektor pendidikan dan kesehatan juga menjadikan rakyat kesulitan untuk mengakses layanan tersebut. Kedua sektor itu dijadikan komoditas ekonomi yang mengakibatkan mahalnya biaya dan sulit dijangkau oleh rakyat meskipun anggaran sudah dinaikkan. Belum lagi rakyat harus dibebani dengan berbagai macam pajak, bahkan kenaikan pajak menjadi 12% cukup menguras pikiran masyarakat, yang mana beban hidup bertambah berat.