Oleh : Ummu Zaidan
Ibadah haji tahun ini menjadi sorotan. Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Muhaimin Iskandar mendapatkan aduan terkait penyelenggaraan haji. Beberapa di antaranya adalah AC yang tidak dapat menyala, tenda yang over kapasitas, kurangnya kasur, jatah tempat per jemaah hanya 0,8 m yang menyebabkan kesulitan tidur sehingga menyebabkan banyak yang memilih di lorong-lorong, serta adanya keterlambatan bus menuju Arafah. (Katadata, 18-6-2024).
Menurut Anggota Komisi VIII DPR sekaligus Anggota Timwas Haji John Kenedy Azis juga menyoroti adanya penambahan kuota haji sebanyak 20.000. Dalam penambahan tersebut, pihak penyelenggara langsung membagi dua, masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan ONH plus. Sedangkan menurut UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, harusnya jatah haji reguler 92% dan sisanya ONH plus. Menurutnya, pembagian kuota ini ilegal dan melanggar aturan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (DPP AMPHURI) Firman Muhammad Nur meyakini bahwa penambahan kuota ini untuk mendukung visi Arab Saudi 2030 agar jemaah haji meningkat 5 juta orang dalam 6 tahun ke depan. Tujuannya tidak lepas dari motif ekonomi. Ia juga menduga pihak Arab perlu menambah kuota ONH plus agar dapat mengisi okupansi hotel-hotel bintang lima. (VOA, 20-7-2024).
Penyelenggaraan haji cukup mahal dan memerlukan biaya besar. Saat ini, jemaah harus mengeluarkan kocek Rp93,41 juta/orang. Bagi masyarakat Indonesia, ini jumlah yang sangat besar. Mereka harus menabung sekian puluh tahun agar bisa pergi Makkah. Namun, sangat disayangkan, biaya yang besar itu ternyata tidak cukup membuat jemaah merasa nyaman dalam beribadah. Mereka harus menghadapi berbagai masalah teknis.
Fasilitas ini sangat jomplang dengan pelayanan yang ada. Masyarakat rela menahan keinginan demi sampai ke Tanah Suci. Sayangnya, kurang maksimalnya pelayanan membuat mereka harus merasakan kondisi yang tidak menyenangkan.
Di sisi lain, masih banyak pula masyarakat di Indonesia yang tidak bisa berangkat karena terbentur biaya. Kesulitan hidup membuat mereka hanya mampu bermimpi bisa ke Tanah Suci. Sedangkan mereka yang beruang banyak, bisa bolak-balik ke tanah suci dengan ONH plus.
Akibat adanya sistem Kapitalisme
Saat ini, haji adalah ibadah yang tampak sekali dikomersialkan. Para pengusaha berlomba-lomba mendirikan hotel berbintang. Jika ingin mendapatkan fasilitas bagus dan dekat dengan tempat ibadah, jemaah harus rela merogoh kocek lebih dalam. Namun, jika uang pas-pasan, harus rela tinggal di hotel yang letaknya jauh dari Makkah.
Begitu pula dengan penambahan kuota. Tujuannya diduga bukan untuk memudahkan kaum muslim berhaji, melainkan agar kamar-kamar di hotel-hotel itu terpenuhi, terutama hotel bintang lima.