Oleh: Khantynetta
Beberapa tahun terakhir ini judi online sedang ramai diperbincangkan serta semakin banyak pula orang-orang yang mengikuti aktivitas ini. Mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi sehingga judi online dapat dilakukan secara virtual saja dengan menggunakan smartphone.
fakta wakil rakyat yg terlibat judi online. Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khaerul Saleh menyebut ada 82 anggota DPR yang terlibat judi online.Sebelumnya dugaan keterlibatan anggota dewan dalam transaksi judi online mengemuka dalam rapat kerja antara Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi III DPR, Rabu (26/6).
PPATK mengaku mengantongi data bahwa lebih dari seribu anggota DPR, DPRD, dan pegawai Sekretariat Jenderal (setjen) jadi pemain. Dari anggota yang terlibat, PPATK mengungkap jumlah transaksinya mencapai 63 ribu dengan angka transaksi bisa menyentuh ratusan juta hingga miliaran rupiah per orang
,(Cnnindonesia.com, 27/6).
Keterlibatan anggota dewan dalam judi online ini sungguh sangatlah memprihatinkan. Betapa tidak, karena faktanya mereka adalah wakil rakyat yang seyogianya memberi contoh yang baik pada rakyat yang diwakilinya. Akan tetapi mereka malah terlibat banyak kemaksiatan dan juga tindak kriminal.
Larangan judi di Indonesia juga termaktub dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara. Adapun larangan spesifik judi online terdapat dalam UU ITE Pasal 27 ayat (2) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Judi online yang marak di kalangan wakil rakyat akan sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi keberpihakan mereka terhadap regulasi judi online. Tidak menutup kemungkinan jika para anggota dewan dan juga pelaku judi online ini akan mengupayakan legalisasi judi online demi mengamankan aktivitas berjudi mereka ini.
Tidak dimungkiri memang ada beberapa upaya yang dilakukan penguasa untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya dengan membekukan akun-akun judol, pembentukan Satgas Judi Online yang tertuang dalam Keppres No. 21 Tahun 2024 yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Kemenag pun tidak ketinggalan dengan membuat program edukasi dan penyuluhan pada calon pengantin, demikian halnya BKKBN menyerukan program penguatan dalam keluarga. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun mengusulkan agar penerima dana bansos yang menyalahgunakannya untuk berjudi agar dicabut dari daftar penerima bansos. Apakah semua upaya ini mampu mencegah makin berkembangnya judol? Ternyata tidak! Mengapa?
Berbagai upaya yang dilakukan memang harus diapresiasi. Akan tetapi, jika kita telusuri, sesungguhnya upaya ini hanya tambal sulam, bahkan memunculkan masalah baru karena memang tidak menyentuh akar masalah. Akun judol diblokir, ternyata akun perjudian baru pun terus muncul dengan berbagai bentuk dan kedok. Mirisnya lagi, masyarakat pun seolah tidak ada kapoknya terus berhubungan dengan judol.
Tidak bisa dimungkiri bahwa maraknya judol hari ini bukan semata karena masalah kemiskinan, tetapi lebih dari itu. Gaya hidup hedonistik masyarakat negeri ini sudah makin parah, budaya flexing di media sosial pun sudah menjadi hal lumrah. Akhirnya, judol yang dipilih sebagai jalan pintas, ingin cepat kaya tanpa perlu kerja keras.
Maraknya judol ini memang tidak bisa dilepaskan dari karut-marutnya sistem kehidupan yang kini sedang dijalankan. Sistem yang dimaksud adalah kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan. Sekularisme dengan paham-paham batil turunannya, seperti liberalisme dan materialisme yang diemban negeri ini, memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit.
Selain itu, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kafah menjadikan Islam hanya dipahami sebatas ritual. Wajar jika tidak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup hingga mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Berbagai permasalahan yang berakar pada rusaknya sistem kehidupan yang dianut menjadikan rakyat mengambil jalan pintas, di satu sisi mudah terbujuk oleh iming-iming judol yang sebenarnya juga penuh spekulasi. Di sisi lain, para pemilik akun judol pun mengambil cara mudah untuk mendapatkan uang atau materi, tanpa berpikir yang mereka lakukan itu merugikan orang ataukah tidak, sesuai dengan syariah atau tidak. Semua dilakukan semata agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya materi demi bisa hidup enak.
Fakta ini menunjukkan bahwa maraknya judol tidak hanya terkait masalah kemiskinan, budaya, dan hukum, melainkan lebih bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyatnya bahkan terhadap seluruh kerusakan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan.
Oleh karenanya pembentukan satgas, diblokirnya akun, pelatihan bagi calon pengantin, dan sebagainya, tidak akan mampu menjadi solusi masalah judol ini karena tidak menyentuh akar permasalahan.