Opini

Marak Konflik Agraria di Sulawesi Tengah, Butuh Solusi Tuntas

706
×

Marak Konflik Agraria di Sulawesi Tengah, Butuh Solusi Tuntas

Sebarkan artikel ini

Oleh: Khoirul Nikmah
(Pegiat Opini)

Beragam konflik agraria ibarat gunung es di negeri ini. Ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya agraria karena dominasi suatu pihak atas pihak lainnya menjadi masalah serius yang tak menemui ujung penyelesaian. Bahkan sengketa yang terjadi antara masyarakat dan korporasi terus saja terjadi hingga melibatkan aparat keamanan dan diwarnai pula dengan beragam aksi kekerasan. Ketika proyek atau industri meluaskan skala usaha mereka, hal tersebut membutuhkan ruang yang lebih luas. Sehingga dalam prosesnya, memicu bentrokan dengan Masyarakat yang telah lebih dulu tinggal di wilayah konsesi.

Guru besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Achmad Sodiki berpendapat, meski memiliki Sejarah puluhan hingga ratusan tahun, upaya penyelesaian konflik agraria di Indonesia masih kerap terhambat oleh sejumlah regulasi. Berbagai kebijakan, seperti UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, juga dianggap menghambat terwujudnya reforma agraria sejati. Sebab, kebijakan tersebut mengatur jangka waktu HGU hingga puluhan tahun sehingga berpotensi melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan antara pihak Perusahaan dan Masyarakat. (Kompas, 16-1-2024)

Adapun untuk wilayah Sulawesi Tengah sendiri, dilansir dari Republika.co.id (1/8/22), Konflik agraria masih menjadi persoalan yang serius terjadi di Wilayah Sulawesi Tengah. Konflik yang terjadi itu melibatkan Masyarakat, pihak swasta dan pemerintah. “Konflik-konflik itu terjadi pada usaha tambang maupun Perusahaan sawit itu pada umumnya terkait dengan persoalan lahan”, Kata Sofyan Farid Lembah, ketua Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Tengah. Lebih lanjut berdasarkan kajian yang pernah dilakukan Ombudsman pada 2018, bahwasanya sengketa lahan antara Perusahaan dan Masyarakat terjadi karena tidak dilakukannya verifikasi bukti kepemilikan lahan oleh pemerintah daerah. Dan hal ini banyak terjadi di Morowali Utara. Hingga kemudian Perkebunan kelapa sawit menjadikan izin Lokasi dan izin usaha Perkebunan (IUP-B) sebagai dasar penguasaan lahan. Sayangnya hal itu, tanpa diawali pembebasan lahan atau kesepakatan penyerahan tanah kepada Perusahaan untuk kepentingan Perkebunan.

Untuk penguasaan ruang daratan, di Sulteng sendiri didominasi oleh korporasi pertambangan, perkebunan dan kelapa sawit dari luas daratan 6,5 juta hektar lebih. Peruntukan ruang produksi berbasis investasi ini terlihat jelas dalam peta pola ruang Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulteng yang telah disusun pemerintah Provinsi dan akan ditetapkan menjadi Perda.

Hal tersebut nyatanya menimbulkan sengketa dan konflik lahan ditengah-tengah Masyarakat. Sekalipun Pemerintah setempat mengklaim telah melakukan berbagai upaya mediasi sengketa, yakni upaya mediasi tindak lanjut dari mediasi sebelumnya mengenai penyelesaian sengketa lahan di Desa Lele yang masuk dalam Kawasan IUP PT Vale dengan memberikan kompensasi berupa sapi dan pemberian pekerjaan kepada 27 masyarakat transmigrasi yang berada pada lahan 1 dan lahan 2 Desa Lele atas nama Pemerintah Daerah yang membantu dan memberi ruang mediasi bagi masyarakat dalam penyelesaian konflik. Juga melakukan prosedur pengsertifikatan untuk lahan 1, lahan 2 dan lahan pekarangan. Namun, penerbitan sertifikat pada lahan 2 tidak bisa lakukan karena telah masuk pada Kawasan IUP PT Vale.

Buah Politik Oligarki

Nyatanya lahirnya proyek swasta maupun proyek strategis nasional (PSN) tidak didesain untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk kepentingan oligarki semata. Perspektif Pembangunan ekonomi pemerintah hari ini berjalan ala kapitalisme, yaitu mementingkan pertumbuhan ekonomi dan derasnya arus investasi. Akibatnya meski rakyat menolak proyek pemerintah hingga terjadi konflik agraria, proyek investasi tetap saja dikebut. Protes rakyat dibalas dengan kekerasan oleh aparat. Bahkan, Sebagian dari mereka terancam dibui karena menolak Pembangunan. Dan kasus-kasus seperti ini banyak terjadi diwilayah lain seperti kasus Rempang, Mandalika, IKN, Labuan Bajo, Wadas, dan sebagainya.

Kemudian dalam hal pemberian HGU seharusnya tidak dilakukan secara sembarangan, ada banyak aturan mainnya, termasuk soal batas minimal dan maksimal luasan tanah yang bisa diberikan hak ini. Merujuk Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, luas minimal lahan HGU yang diberikan kepada perorangan adalah lima hektare. Sementara, luas maksimalnya adalah mencapai 25 hektare. Namun, paradigma pembangunan berbasis investasi tidak saja melanggar nilai-nilai sosial tetapi juga menimbulkan paradoks dan inkonsistensi peruntukan ruang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *