Oleh: Narita Putri
(Pemerhati Generasi)
Perempuan mana yang mau kehilangan kehormatan dengan cara tidak baik-baik. Dilecehkan, diintimidasi sering melekat kepada para korban rudapaksa (pemerkosaan). Baik pelakunya orang lain, lebih miris lagi keluarga sendiri baik ayah atau saudara. Seperti kasus ayah menyetubuhi anak kandungnya sendiri (di Pati, Cakung, Tapanuli Utara) dan daerah lainnya. Terjadilah kehamilan yang tak diinginkan. Bingung mencari solusi, apakah aborsi atau dibiarkan namun tak tahu siapa yang akan bertanggung jawab.
Baru-baru ini, Presiden Jokowi mengesahkan PP 28/2024 tentang Kesehatan, khususnya mengenai regulasi aborsi. Dalam PP tersebut mengatur tentang syarat dan ketentuan aborsi di Indonesia agar mencegah praktik aborsi ilegal. Dikutip dari Pasal 116, setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali ada dugaan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual lainyang menyebabkan kehamilan.
Kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28/2024 dianggap sebagai salah satu solusi. Abrosi adalah tindakan menggugurkan janin di dalam kandungan. Tnetu beresiko bagi perempuan yang menjalaninya, bahkan bisa menghilangkan nyawa jika terjadi pendarahan atau infeksi. Belum termasuk resiko nonmedis. Sudah menanggung malu dan trauma, kini ia harus menanggung beban hukum karena menghilangkan nyawa. Beban ganda bagi para korban rudapaksa.
Penyebab Marak Kasus Pemerkosaan
Banyaknya kasus pemerkosaan di negeri ini menunjukkan bahwa tidak adanya jaminan keamanan bagi perempuan. Dimana-mana ia selalu menjadi korban. Di era digital seperti ini kasus pemerkosaan biasanya bermula melalui media sosial. Komnas Perempuan mencatat kasus yang sering terjadi diantaranya penyebaran konten porno, peretasan dan pemalsuan akun, hingga pendekatan untuk memperdayai (grooming).
Kasus “perangkap cinta” menjadi persoalan global di kecanggihan teknologi saat ini. Modusnya bujuk rayu hingga korabn jatuh cinta. Tanpa kendali diri, akhirnya korban mempertontonkan diri hingga berperilaku bebas. Tidak jarang bermuatan pornoaksi.
Semua itu akibat negara tidak memberi jaminan keamanan baik di dunia maya ataupun nyata. Liberalisasi perilaku menjadi landasannya. Setiap orang bebas melakukan apapun. Baik itu untuk kepentingan pribadi ataupun. Dengan dalih suka sama suka, tidak akan ada jeratan hukum bagi para pelaku. Lagi dan lagi, perempuan menjadi korban.