Manisnya Korupsi Pada Importasi Gula
Oleh: Cucu Juariah
(Aktivis Muslimah)
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula saat yang bersangkutan menjabat Mendag pada 2015-2016 lalu.
Kejaksaan Agung kemudian langsung menahan Tom Lembong di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengatakan impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan BUMN, namun Tom Lembong mengizinkan PT AP untuk mengimpor.
“Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah 105.000 ton kepada PT AP,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (www.bbc.com, 29/10).
“Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan sebesar kurang lebih Rp 400 miliar,” kata Abdul Qohar,. (detik.com, 30/10)
Indonesia Pengimpor Gula Terbesar Didunia
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA). Indonesia termasuk negara pengimpor gula terbanyak didunia.
Data BPS menunjukkan bahwa pada era Tom Lembong (2015) Indonesia mengimpor 3,36 juta ton gula. Selanjutnya pada 2016 impor gula meningkat menjadi 4,74 juta ton. Pada era Enggartiasto Lukita, impor gula pada 2017 sebanyak 4,48 juta ton, 2018 mencapai 5,02 juta ton, dan pada 2019 sebanyak 4,09 juta ton. Sedangkan pada era Agus Suparmanto (2020) sebanyak 5,53 juta ton. Ada pun pada era Muhammad Lutfi pada 2021 impor gula mencapai 5,48 juta ton dan pada 2022 sebanyak 6 juta ton. Ini merupakan jumlah impor gula terbanyak selama ini. Sedangkan pada era Zulhas impor gula pada 2023 mencapai 5,06 juta ton.
Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa mencukupi kebutuhan gula dari produksi domestik sehingga harus melakukan impor.
Data Kemenperin (2023) menunjukkan bahwa kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun industri, mencapai sekitar 7 juta ton, tetapi produksi nasional hanya sekitar 2 juta ton.
Mengapa produksi gula Indonesia bisa rendah, padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris?
Penyebab Rendahnya Produksi Gula Domestik.
Penyebab rendahnya produksi gula domestik berasal dari sisi on farm dan off farm. Dari sisi on farm, kualitas tebu dalam negeri terus menurun kendati luas lahan meningkat. Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM Prof. Irham menjelaskan bahwa penyebab rendahnya produksi gula Indonesia adalah adanya lingkaran setan dalam industri gula. Maksudnya, produktivitas tebu nasional rendah karena penggunaan bibit berkualitas rendah. Bibit ini dipakai karena modalnya rendah. Modal yang rendah ini karena pendapatan petani dan perusahaan gula rendah. Pendapatan mereka rendah karena produksi tebu rendah. Lalu kembali lagi ke awal, yaitu produksi rendah karena produktivitas rendah.
Lingkaran ini terus terjadi dan tidak akan putus kecuali ada upaya pemerintah untuk memutus dengan menyediakan bibit berkualitas tinggi bagi petani tebu sehingga produktivitas meningkat. Ada pun luas lahan tidak menjadi masalah yang utama karena selama satu dekade ini luas lahan selalu meningkat, tetapi produktivitasnya masih rendah.
Sedangkan dari sisi off farm, pabrik-pabrik gula di Indonesia sudah banyak yang tua dan memerlukan perbaikan. Data Kemendag menunjukkan bahwa saat ini sekitar 64% pabrik gula di Indonesia telah berumur lebih dari 100 tahun sehingga kapasitasnya menurun.
Sedangkan pabrik-,pabrik pengolahan gula yang baru dan lebih modern rata-rata dimiliki pengusaha-pengusaha asing dari India atau China.
Bisnis Gula di Indonesia Sangat Menggiurkan.
Data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa harga gula Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan harga gula internasional. Sebagai contoh pada 2021, harga gula konsumsi di tingkat pedagang besar berada di atas Rp12.000/kg. Sedangkan harga GKP internasional di tingkat pedagang besar hanya Rp5.000/kg. Apalagi kini harga gula melonjak hingga mencapai Rp18.000/kg.
Margin keuntungan yang sangat besar ini jugalah yang membuat perusahaan gula swasta bisa membeli tebu pada petani dengan harga lebih tinggi dari perusahaan gula pemerintah.
Akibatnya, perusahaan gula milik pemerintah (PTPN) kekurangan bahan baku dan kalah bersaing. Walhasil impor gula besar-besaran hanya menguntungkan perusahaan gula swasta.
Impor gula juga telah menjadi celah korupsi oleh para pejabat. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian mengonfirmasi bahwa celah korupsi terhadap perizinan impor pangan cukup besar. Menurutnya, akar persoalan skandal korupsi impor pangan karena kebijakan pengendalian impor di Indonesia masih berbasis rezim kuota.
Pemerintah membagi jatah impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri. Di sinilah celah persoalan hukum terjadi.
Menurut Eliza, kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dan praktik kartel. Pasalnya, kuota ini mensyaratkan surat persetujuan impor dan rekomendasi produk impor sehingga berpotensi terjadi persekongkolan. Pemberian kuota tidak transparan sehingga kerap terjadi kasus terkait impor pangan. Apalagi selisih antara harga internasional dan dalam negeri sangat besar sehingga mendorong para pemburu renten beraksi.
Oligarki kapitalistik leluasa mempermainkan kebijakan impor gula karena sistem kapitalisme meniscayakan penyerahan hajat hidup rakyat oleh negara pada swasta.
Gula merupakan kebutuhan pokok rakyat sehingga seharusnya dikelola oleh negara. Namun, pemerintah justru menyerahkannya pada swasta. Ini merupakan wujud penerapan konsep kapitalisme yang memposisikan pemerintah sebagai regulator, bukan pengurus urusan rakyat.
Sistem Islam Mewujudkan Swasembada Pangan.
Kondisi ini berbeda dengan sistem pemerintahan IsIam (Khilafah) yang memosisikan pemerintah sebagai ra’in (pengurus rakyat).
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.“ (HR Bukhari).
Pemimpin dalam Islam akan memandang bahan pokok seperti gula, beras, minyak, telur, daging, dan yang lainnya sebagai hajat hidup rakyat yang harus pemerintah penuhi. Bukan komoditas ekonomi untuk dibisniskan kepada mereka. Juga akan memastikan tiap-tiap orang, baik rumah tangga maupun industri, bisa memperoleh gula dengan harga yang terjangkau.
Dimasa lalu, masa pemerintahan Abbasiyah telah berhasil menghasilkan banyak ahli pertanian yang mampu menemukan alat-alat canggih di bidang pertanian. Begitu banyaknya alat yang ditemukan saat itu sehingga bisa dikatakan bahwa telah terjadi revolusi pertanian.
Tidak hanya alat, metode bertani secara modern juga ditemukan oleh para pakar pertanian sehingga hasil pertanian sangat besar dan bisa memenuhi kebutuhan rakyat. Bahkan disimpan untuk kebutuhan darurat pada masa depan dan didonasikan untuk negara tetangga yang terkena bencana.
Disamping itu sistem Islam akan menyempitkan celah bagi orang-orang yang berakhlaq buruk dan tidak amanah atau para koruptor untuk bisa menduduki kursi-kursi pemerintahan dan jabatan-jabatan penting dipemerintahan.
Karena Islam memandang baik seseorang itu dari sisi ketakwaannya, bukan berdasarkan suara terbanyak yang selalu bisa dibeli dan dimanipulasi.
Demikianlah sistem pemerintahan Islam diterapkan, kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan baik, keberkahan pun terwujud.
Wallahu a’lam.