Oleh: Ummu Aisyah
Ibu Rumah Tangga dan Pengiat Dakwah
Pendidikan merupakan kebutuhan asasi manusia yang berperan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pendidikan juga sebagai sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya, negaralah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan. Ini tertuang di dalam Pasal 31 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mempertegas dengan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) adalah proses seleksi bagi warganegara yang ingin mendapatkan pendidikan. Hanya implementasi PPDB pada kenyataannya selalu dibayang-bayangi berbagai persoalan, seperti kebijakan sistem zonasi. Banyak para orang tua siswa di beberapa daerah mengeluhkan adanya beragam dugaan praktik kecurangan. Sepertinya tensi favoritisme sekolah belum sepenuhnya hilang meski sistem zonasi sudah diterapkan.
Adanya praktik kecurangan pada penerimaan PPDB ini juga dibenarkan oleh Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Beliau menilai kecurangan akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021. Bahkan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur. “Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi,” kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024. (tempo.co)
Ubaid menyebut sistem zonasi telah menyimpang dari visi yang seharusnya, yakni pemerataan menjadi ketimpangan. Oleh karena itu, ia mengistilahkan zonasi sebagai kompetisi rebutan kursi. Artinya, jumlah anak yang mau sekolah dengan jumlah kursi yang tersedia harusnya merata. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya. Jumlah kursi sekolah sedikit tapi yang mendaftar banyak. Ia juga menilai zonasi membuat ketimpangan mutu dan tak ada jaminan kepastian.
Munculnya kekisruhan zonasi PPDB sejatinya karena ketidak mampuan negara menyediakan sekolah murah berkualitas secara merata di seluruh wilayah. Dan penyebabnya adalah sistem kapitalisme yang selama ini dijadikan sebagai basis tata kelola negara dalam bidang pendidikan. Pendidikan dipandang oleh kapitalisme sebagai barang ekonomi, bukan layanan yang wajib dipenuhi negara. Oleh karena itu, tata kelola pendidikan pun diliberalisasi, sehingga berlaku prinsip ‘siapa yang ingin mendapatkan sekolah bagus, maka harus mau merogoh kocek lebih’. Peluang inipun dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk “berdagang” di dunia pendidikan.
Disamping itu, tata kelola pemerintahan kapitalis yang menganut good governance atau pun reinventing government, meniscayakan negara diharuskan berbagi peran dengan swasta. Akibatnya negara pun membatasi pendirian sejumlah kecil sekolah negeri yang dibutuhkan rakyat sedangkan sisanya diserahkan ke swasta. Menjamurnya sekolah swasta di suatu wilayah yang sudah tentu mahal atau bahkan kualitasnya kurang, menjadi bukti peran negara hanya sebagai regulator bukan pelayan umat.