Oleh Sriyanti
Ibu Rumah Tangga
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak nasional akan segera digelar. Para pemimpin daerah pun tengah mempersiapkannya, tak terkecuali Bupati Bandung Dadang Supriyatna. Beberapa waktu lalu ia menghadiri secara langsung acara peluncuran tahapan Pilkada Serentak nasional, yang dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum Kabupaten Bandung di Soreang.
Kang DS berharap pada masyarakat agar sepenuhnya mendukung dan turut berpartisipasi di Pilkada serentak nasional yang akan datang. Ia juga mengatakan bahwa pesta demokrasi tersebut, merupakan wujud kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Untuk mendukung pelaksanaan tersebut pemerintah kabupaten telah mengucurkan hibah sebesar Rp101,9 miliar, serta akan bekerjasama dengan jajaran forum koordinasi pimpinan daerah lainnya seperti Kapolresta, Dandim, TNI, dan Polri, untuk pengamanan agar Pilkada serentak berjalan aman dan lancar. (Patrilicyber.com 31/05/2024)
Pemilihan umum untuk memilih presiden ataupun kepala daerah, memang sudah menjadi agenda rutin berkala dalam sistem demokrasi. Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 14 Februari, negeri ini pun telah mengadakan pemilu presiden dan legislatif. Tak dinafikan biaya untuk pemilu dalam sistem demokrasi saat ini sangatlah besar. Berdasarkan data tempo.com anggaran biaya Pemilu tahun 2024, mengalami kenaikan paling tinggi dibandingkan dengan tiga kali pemilu sebelumnya.
Sebagaimana fakta di atas, salah satu sumber dana yang digunakan untuk agenda tersebut adalah dana hibah dari kas pemerintah daerah. Pengeluaran yang fantastis ini sangat ironis sekali di tengah kondisi kehidupan masyarakat yang semakin sulit. Jelas ini sangat melukai hati rakyat, pasalnya berulangkali pergantian pemimpin nyatanya tidak begitu berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka. Alih-alih membawa perubahan ke arah yang lebih baik, Pemilu justru memunculkan permasalahan baru karena pelaksanaannya diwarnai dengan praktik korupsi, pelanggaran, kecurangan, dan sebagainya. Inikah yang disebut dengan demokrasi?
Bagi pengamat politik, pemilu yang rutin terselenggara untuk memilih pemimpin itu hanya dianggap sebagai politik bagi-bagi kue kekuasaan. Pemahaman ini terbentuk karena mereka terlanjur disuguhi fakta politik yang salah. Politik uang seperti jual beli suara, serangan fajar menjelang pencoblosan, sudah menjadi rahasia umum alam demokrasi. Hal ini terjadi karena para elit politik tidak memahami dan mengetahui tentang makna politik sebenarnya, selain ambisi ingin berkuasa, bisa melanggengkan partainya hingga memiliki suara terbanyak di kursi pemerintahan. Maka tak heran jika biaya politik dalam sistem demokrasi demikian mahal.
Untuk membiayai pertarungan sengit dalam pemilu, tidak sedikit dari para kontestan yang bekerjasama atau meminta sumbangan dana dari para pengusaha. Begitu juga dengan peserta yang memiliki modal sendiri, ketika sudah berhasil meraih kekuasaan mereka akan segera mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dengan berbagai cara, termasuk melakukan tindak korupsi. Faktanya tidak sedikit dari para pejabat dan kepala daerah yang terjerat kasus ini.
Pesta demokrasi yang berbiaya fantastis ini nyatanya tidak membawa perubahan bagi kehidupan rakyat. Perekonomian masyarakat tetap terpuruk, harga kebutuhan pokok semakin tidak terjangkau, hingga hidup semakin sulit. Sementara para pengusaha bertambah kaya, oligarki makin menggurita, sehingga kehidupan mereka semakin berjaya. Inilah hasil dari pesta demokrasi dengan kesenjangan sosial yang makin tinggi. Kesejahteraan tidak akan pernah merata dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang atau golongan saja. Semua ini disebabkan karena dalam sistem demokrasi negara hanya berperan sebagai regulator saja. Penguasa akan lebih condong untuk memenuhi kebutuhan pengusaha, di bandingkan dengan mengurusi kebutuhan rakyatnya, Karena yang demikian lebih dianggap menguntungkan.