Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Calon Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkapkan jika dirinya terpilih nanti, dalam jangka waktu dua tahun pemerintahannya, seluruh warga Jawa Barat akan mendapat aliran listrik. Ia menyampaikan hal tersebut saat menjawab pertanyaaan panelis dalam debat Pilkada Jabar 2024 (Sabtu,23/11/24). Sebagaimana diketahui sebanyak 22.000 kepala keluarga di Jawa Barat belum teraliri listrik, meskipun program Jabar Caang (terang) telah gencar disosialisasikan.
Dedi juga menyatakan bahwa pihaknya akan memanfaatkan dana pemerintah untuk membantu warga di daerah yang belum teraliri listrik. Selain itu ia juga akan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam sebagai sumber energi mandiri, seperti air dan angin yang bisa dikelola secara mandiri oleh desa maupun badan usaha milik desa untuk menerangi wilayah terpencil. (www.beritasatu.com, 23/11/2024)
Kenyataan bahwa ada wilayah di Indonesia yang belum teraliri listrik sungguh patut dipertanyakan. Pasalnya, meski telah berulang kali berganti pemimpin nyatanya pembangunan layanan publik belum merata hingga ke daerah terpencil. Keterbatasan anggaran hingga area yang sulit dijangkau kerap menjadi alasan klasik yang sering dinarasikan oleh pemerintah apabila ada yang menyinggung kondisi ini.
Padahal, sejatinya liberalisasi energi lah yang menyebabkan pembangunan tidak merata. Hal ini dimulai pada tahun 1990-an, dengan berdirinya Independent Power Producer (IPP) melalui power purchase agreement (PPA) atau perjanjian jual beli listrik. IPP mengelola pembangkit listrik dan menjual sebagian atau seluruh produksinya ke PLN dengan harga tinggi.
Jumlah tenaga listrik yang dibeli oleh PLN dari perusahaan swasta kian meningkat setiap tahunnya, pada 2016 senilai Rp 60 triliun, dan mencapai 104 triliun pada 2021. Negara merasa kehadiran IPP sangat membantu, sebab untuk membangun pembangkit sendiri dibutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak murah. Sehingga menerima uluran tangan swasta menjadi dalih pembenaran.
Kebijakan pemerintah menggandeng swasta untuk percepatan pemerataan listrik di seluruh wilayah negeri, semakin dibenarkan dengan terbitnya UU 30/2009 yang menyebutkan bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap dapat berperan sebagai pihak penyedianya.
Sebagaimana perusahaan swasta pada umumnya, IPP tentu mengharapkan keuntungan laba besar mengingat biaya yang mereka keluarkan untuk membangun pembangkit listrik juga tidak sedikit. Karenanya, hingga saat ini mereka hanya mau berinvestasi di wilayah pusat beban seperti pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan daerah pelosok dan terpencil seperti Papua, dari segi infrastuktur dan perekonomian masih kurang diminati karena dianggap tidak menguntungkan.
Liberalisasi listrik semakin deras setelah terbit UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan berbagai kemudahan berinvestasi bagi swasta dalam negeri maupun asing di bidang energi. Meski isi Undang-Undang ini inkonstitusional dan pemerintah telah mengganti dengan Perpu 2/2022, namun isinya tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya yang telah banyak menuai polemik di masyarakat.
Dari berbagai hal di atas telah nampak jelas bahwa liberalisasi dan kapitalisasi energi listrik hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat, yakni para pengusaha. Maka wajar apabila rakyat di daerah pelosok dan terpencil hingga saat ini masih kesulitan mengaksesnya. Selain itu, beban masyarakat pun semakin bertambah berat manakala harus mengeluarkan biaya lagi untuk membayar pelayanan. Negara hanya menjadi fasilitator yang membuat dan mengatur regulasi yang berpihak kepada para kapital, sementara rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Di sisi lain, swasta diberi kebebasan untuk berinvestasi maupun mengelola listrik. Alhasil PLN sebagai BUMN yang seharusnya berkewajiban mengelola dan mendistribusikan listrik kepada masyarakat memiliki beban berat karena harus membeli bahan baku atau tenaga listrik dengan biaya besar, juga mendistribusikannya ke wilayah terpencil, padahal penyediaan infrastruktur serba terbatas.
Sejatinya listrik adalah sumber daya energi yang pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: