Opini

“LEGALISASI ALAT KONTRASEPSI BAGI SISWA DAN REMAJA”

266
×

“LEGALISASI ALAT KONTRASEPSI BAGI SISWA DAN REMAJA”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Umi Astuti
Pemerhati Keluarga dan Instruktur Go Ngaji

Beberapa hari yang lalu Presiden Jokowi pada 26 Juli 2024 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 28 Tahun 2024, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
PP ini terdiri dari 1172 pasal, ditambah penjelasannya dengan total 172 halaman.

Kontroversi PP 28/2024

PP tersebut banyak mengundang kontroversi. Bagian kontroversial dari PP 28/2024 tersebut adalah adanya pasal-pasal yang secara resmi mengatur perilaku seksual dan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Contoh dalam Pasal 103 berbunyi : upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Jelas pasal ini berfokus pada persoalan sistem reproduksi dan sasarannya adalah anak-anak usia sekolah dan remaja, misalnya anak SD, SMP, SMA.Jadi pasal ini bukan dikhususkan untuk pasutri dewasa yang sudah menikah.

Oleh karena itu, solusinya bukanlah mengeluarkan Permenkes yang merinci PP 28/2024,
melainkanmembatalkan PP 28/2024 mengapa? Sebab Permenkes itu tidak mempunyai dasar hukum untuk mengatakan bahwa pemberian alat kontrasepsi hanya untuk remaja yang sudah menikah, karena pasal yang maknanya seperti ini TIDAKADA dalam PP 28/2024. Jadi bahwa “alat kontrasepsi hanya untuk yang sudahmenikah” sebenarnya hanya opini subjektif yang ada dalam pikiran Jubir Kemenkes, tapi secara faktual tidak ada pasal dengan redaksi demikian dalam PP 28/2024.

Dalam pasal 104 ayat (2) huruf b perihal frasa “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” meski ditujukan untuk usia dewasa, di antaranya pasangan usia subur dan kelompok berisiko, tidak dijelaskan kriteria usia pasangan subur itu seperti apa. Jika ditafsirkan secara bebas, usia remaja juga termasuk kategori usia subur. Kemudian, dalam pasal ini juga tidak dijelaskan pasangan yang dimaksud apakah suami istri atau bukan. Apakah hal ini mengarah pada legalisasi hubungan seksual sebelum menikah asal aman dan bertanggung jawab? Jika demikian, ini berarti negara memfasilitasi perilaku zina di kalangan generasi muda.

Kelalaian Negara Atas Kesehatan dan Masa Depan Generasi

Penguasa negeri ini sebenarnya sudah memahami bahwa kondisi generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Bahkan sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Hal itu bisa kita amati dalam beberapa hal , seperti:
Pertama, hubungan seksual di kalangan remaja sudah membudaya. Merujuk pada  data Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) pada 2017, BKKBN mengungkap bahwa 60% remaja usia 16—17 tahun telah melakukan hubungan seksual, usia 14—15 tahun sebanyak 20%, dan usia 19—20 sebanyak 20%. Pada tahun itu saja sudah demikian banyak, bisa jadi pada 2024 meningkat signifikan.

Kedua, salah satu dampak seks bebas adalah hamil di luar nikah. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, pada 2023, 80% dispensasi nikah karena faktor hamil di luar nikah. Sejak 2016 dispensasi nikah meningkat tujuh kali lipat. Data Pengadilan Agama pada 2022 menunjukkan bahwa dispensasi nikah yang dikabulkan hakim mencapai 52.338 dengan angka tertinggi berasal dari Jawa Timur, yakni sebanyak 29,4% atau 15 ribu. Kita tentu masih ingat, pada 2023, sebanyak 191 pelajar di Ponorogo meminta dispensasi nikah dini karena hamil di luar nikah. Fakta yang sama terjadi di daerah lainnya.

Penerbitan PP 28 Tahun 2024 mengingatkan kita pada rumus ABCDE yang pernah digagas dan dikampanyekan Kementerian Kesehatan pada 2016 untuk mencegah penyebaran HIV/ AIDS, yakni:

A (abstinence) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah.
B (be faithful) adalah saling setia pada pasangan.
C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual yang berisiko.
D (don’t use drugs) atau tidak memakai narkoba.
E (equipment) yang artinya menggunakan peralatan steril.
Dalam rumus tersebut, tidak dijelaskan pasangan yang dimaksud apakah pasangan halal atau bukan, remaja atau dewasa. Alhasil, rumus ABCDE berlaku umum dan akhirnya multi tafsir.
Artinya pemerintah dalam memberikan solusi tentang perilaku seks bebas di kalangan pelajar dan remaja masih sama, yakni penyelesaian tidak sampai pada akarnya pengaruh liberalisme sekulerisme. Kehidupan sekuler yang jauh dari aturan agama menjadikan perbuatan yang haram dianggap halal, semisal pacaran yang tidak dianggap perbuatan tercela dan maksiat, padahal pintu pertama menuju perzinaan adalah aktivitas pacaran.

Paradigma liberalisme menganggap kehidupan dan perbuatan manusia bebas diatur sesuai kehendak manusia. Kehidupan yang bebas dimana standar perbuatan tidak bersandar pada halal dan haram, tetapi berkiblat pada nilai kebebasan yang dijajakan paham liberalisme. Imbasnya, kemaksiatan hal biasa dan aturan Islam makin terasing dari kehidupan remaja kita. Aparat Negara yang membuat aturan sesuai dengan hawa nafsunya .Terbukti sistem pendidikan sekuler yang tidak menghasilkan generasi bertakwa dan berkepribadian Islam.

Inilah penyebab utama seks bebas merebak di kalangan remaja dan pelajar. Oleh karenanya, solusi yang seharusnya diberikan bukanlah kampanye sex education ala sekularisme atau penyediaan alat kontrasepsi. Namun, harus dipastikan bahwa akar masalah seks bebas, yaitu liberalisme sekularisme tidak boleh menjadi pandangan hidup yang melahirkan kebijakan sekuler liberal.

Bagai mematikan api dalam sekam, upaya apa pun jika problem utamanya tidak dicabut dan dibersihkan hingga ke akarnya, pasti sia-sia. Perilaku remaja tidak kunjung membaik, malah makin merajalela seperti bola liar yang terus menggelinding tanpa henti.

Solusi Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *