Oleh : Cahaya Chems
(Pegiat Literasi)
Gilaa! Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan peraturan yang membolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan. Astagfirullah.
Ibarat kata, lepas dari mulut buaya masuk mulut harimau. Sudahlah korban mengalami traumatis, tertimpa pula sakitnya menggugurkan kandungannya. Malang nian nasib korban dari penjahat seksual tersebut. Dilansir dari media (Tirto.id, 08/2024) Presiden Jokowi telah meneken PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023) Jumat (26/07/2024).
Dalam pelaksanaannya peraturan tersebut dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga medis sesuai dengan ketetapan aturan tersebut. Bagi (tindak pidana) korban pemerkosaan harus menyertakan surat keterangan dokter, usia kehamilan sesuai dengan tindak kejahatan yang menyebabkan kehamilan (nasional.kompas.com).
Menjamurnya problematika di tengah-tengah rakyat akan berbagai kejahatan termasuk kejahatan seksual yang menimpa kaum hawa menjadi masalah yang membuat pemerintah sigap menyelesaikan persoalan tersebut dengan serangkaian kebijakannya. Namun apakah kebijakan pemerintah sudah tepat solusi?.
Menanggapi hal itu, Ketua Mui Bidang Dakwah Muh Cholil Nafis mengatakan bahwa dalam pasal peraturan tersebut masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia menjelaskan aborsi hanya bisa dilakukan ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan, dan usia kehamilan sebelum empat puluh hari atau sebelum peniupan ruh.
Kita tidak bisa menafikan bahwa korban pasti akan mengalami traumatis pasca korban mengalami pemerkosaan. Pun sejatinya tindakan aborsi hanya akan menambah beban korban karena tindakan aborsi tetap beresiko. Sebab aborsi merupakan tindakan pembunuhan janin atau pengguguran kandungan sehingga pelaksanaannya harus memperhatikan hukum Islam. Karena aborsi adalah tindakan yang diharamkan dalam Islam kecuali pada kondisi-kondisi khusus yang diperbolehkan hukum syarah.
Banyaknya kasus pemerkosaan di negeri ini menunjukkan pemerintah gagap tanggap terhadap persoalan tindak kejahatan pemerkosaan. Pun gagal menjamin keamanan kepada rakyatnya terhadap kehormatan seorang wanita. Bahkan meski Undang-Undang T-PKS telah diberlakukan nyatanya tak punya taji untuk menghentikan kasus kejahatan seksual. Pun banyak kaum perempuan tidak mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual. Sebaliknya kasus kejahatan seksual justru makin marak. Oleh karena itu negara harus memastikan jaminan keamanan atas perempuan.
Seharusnya pemerintah minimal harus memberikan pengobatan dan pemulihan akan kondisi traumatis yang dialami korban. Bukanya si korban malah diusulkan aborsi. Sebab solusi tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Jauh panggang dari api. Sehingga dari sini terlihat pemerintah memberikan solusi seolah kurang kreatif dan salah kaprah. antara realitas dan solusi yang diberikan selalu tidak tepat sasaran.
Alhasil, kenapa kasus kejahatan seksual sulit diberantas? sebab negara ini mengadopsi sistem hidup yang berasaskan nilai sekularisme (peniadaan nilai agama dalam ranah publik). Sehingga solusi yang diberikan pun tidak menjamin keamanan dan kehormatan seorang wanita. Lalu sistem sanksi yang diberikan pun tidak memberikan efek jera. Sebab penjahat seksual ini boleh jadi selepas mendapat masa tahanan, berkeliaran mencari mangsa baru.