Opini

Legalisasi Aborsi Abai Antisipasi

243

Oleh: Ronita, S.Pd

(Pegiat Literasi)

Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan kerap kali terjadi. Kasus perkosaan yang mengakibatkan korbannya hamil pun tak sedikit.
Menurut Nurhafni (2022:2) ada 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95℅ adalah remaja. Entah diakibatkan oleh tindak pemerkosaan atau tindak seks bebas. Data yang dilansir dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (simfoni PPA) yang diinput dari tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini, menyebutkan bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual terbesar dari 14.947 kasus dialami oleh perempuan, yakni sebanyak 12.983 kasus. Senada dengan hal itu, BKKBN pun memperkirakan kasus aborsi setiap tahun mencapai 2,4 juta jiwa dan 700 ribu kasus terjadi pada remaja.

Karena kerap kali korban pemerkosaan hamil, maka tidak jarang dari mereka mengambil tindakan aborsi. Pasalnya kehamilan ini tidak direncanakan atau tidak diinginkan. Maka sebagai tindak lanjut dari hal tersebut pemerintah pun mengambil langkah untuk melegalkan aborsi yang dilakukan para korban pemerkosaan ini. Hal ini diatur dalam pelaksanaan Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang kesehatan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 2024.
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab UU hukum pidana dikutip dari pasal 116”.
Dalam PP No 28 tahun 2024 tersebut kedaruratan medis harus diindikasikan dengan kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu serta kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak bisa diperbaiki. Sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan (Tirto.id, 30/07/2024).

Berbeda pandangan dengan Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bahwa pasal aborsi yang dilegalkan adalah kurang tepat dengan prinsip Islam. Ketua MUI bidang dakwah, M. Cholil Nafis menyatakan bahwa PP No 28 tahun 2024 tentang pelegalan aborsi itu masih belum sesuai dengan ketentuan Islam. Pasalnya dalam Islam Ulama sepakat bahwa tidak boleh aborsi sesudah ditiupnya ruh dengan usia kehamilan di atas 120 hari.
Dalam fatwa MUI menyebutkan bahwa melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum ditiupnya ruh, hukumnya haram kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Termasuk mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi (Media Indonesia, 1/08/2024).

Legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan dianggap sebagai salah satu solusi untuk menghindari trauma atau gangguan psikologis akibat kehamilan yang tak diinginkan pada korban perkosaan. Padahal dikutip dari pasal 124 ayat 1 tentang kesehatan, bahwa korban perkosaan akan mendapatkan pendampingan. Apabila selama pendampingan korban hendak berubah pikiran dan membatalkan aborsi berhak didampingi hingga persalinan. Terlihat bahwa solusi pelegalan aborsi tidaklah tepat. Justru tindakan aborsi meskipun dilakukan oleh tenaga media profesional tetap saja beresiko. Apalagi jika hal ini dilakukan pada perempuan usia remaja. Perempuan yang masih berada di usia remaja ketika melakukan aborsi lebih rentan terserang endometritis yaitu infeksi peradangan panggil. Hal ini lebih lanjut akan meningkatkan resiko kehamilan ektopik ketika dia menikah dan hamil kelak. Bahkan mengurangi kesuburan seorang perempuan di masa depan setelah melakukan aborsi.

Sejatinya tindak aborsi yang dilegalkan ini justru akan membahayakan dari sisi kesehatan. Seharusnya, ketika seorang perempuan mengalami pelecehan seksual atau tindak perkosaan maka ketika dia hamil tidak lantas diaborsi karena pertimbangan kehamilan yang tak diinginkan. Atau ada ketakutan secara psikologis akan menjadi beban trauma karena harus mengandung anak dari pelaku kejahatan. Recovery dengan pendampingan justru lebih tepat dari sisi kesehatan.
Selaras dengan hal itu sebenarnya pemerintah harus mampu melihat akar masalah mengapa masih saja selalu terjadi pelecehan seksual dan perkosaan terhadap perempuan meskipun sudah ada UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Exit mobile version