Oleh: Rina Rusaeny
(Aktivis Mahasiswa)
Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari yang diambil dari tanggal lahirnya Ki Hajar Dewantara, yang merupakan tokoh pendidikan nasional, sekaligus Menteri Pendidikan pertama. Momen bersejarah ini merupakan pengingat akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Euforia masyarakat memperingati hari pendidikan nasional dengan menggelar upacara peringatan Hardiknas menggunakan pakaian adat dari seluruh Indonesia, pameran-pameran, dan segala gagap gempita euforia pendidikan. Ditengah euforia Hardikanas sayangnya tidak ada perenungan, evaluasi, terkait keberlanjutan sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga, setiap tahunnya hari pendidikan hanyalah seremonial semata.
Seiring peringatan Hardiknas tahun ini, Mei 2024 juga dicanangkan sebagai bulan Merdeka Belajar. Disdikbud Kaltim menyatakan bahwa Kaltim komitmen untuk melanjutkan Merdeka belajar. Hal ini sejalan dengan tema peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2024 yaitu Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”.
Kurikulum Merdeka yang dikembangkan sejak 2020 ini, kemudian diterapkan dan dievaluasi secara bertahap sejak 2021. Saat ini sudah lebih dari 300 ribu satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Berdasarkan Data Asesmen Nasional tahun 2021-2023 menunjukkan dampak positif dengan hasil Rapor Pendidikan tahun 2023 menunjukkan satuan pendidikan yang menerapkan Kurikulum Merdeka mengalami peningkatan literasi, numerasi, karakter, inklusivitas, dan kualitas pembelajaran.
Sebagaimana melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada bulan Maret lalu telah menetapkan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional melalui penerbitan Peraturan Mendikutristek No.12 tahun 2024, tentang kurikulum pada PAUD, jenjang pendidikan dasar, dan jenjang pendidikan menengah. Dengan terbitnya Permendikbutristek ini Kurikulum Merdeka secara resmi menjadi kerangka dasar dan struktur kurikulum untuk seluruh sekolah di Indonesia.
Kurikulum Ala Barat
Ditengah optimisme menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional, seharusnya negara mampu mengevaluasi kurikulum ini terhadap generasi setelah beberapa tahun berjalan. Bagaimana implementasi kurikulum Merdeka ini? Lalu bagaimana output pendidikan dengan kurikulum ini? Mampukah mencetak generasi yang berkualitas, bertaqwa, dan berkarakter mulia?
Faktanya hari ini kita menyaksikan potret buram pendidikan yang tiada habisnya. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4% peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying). Sementara itu, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada 30 kasus bullying sepanjang 2023. FSGI juga mencatat sepanjang 2023, ada 46,67% kekerasan seksual terjadi di sekolah dasar. Tidak hanya itu, fenomena maraknya seks bebas dikalangan pemuda, penyakit HIV/AIDS yang makin meningkat, kasus narkoba bahkan terlibat aksi tawuran.
Tenaga pendidik atau guru kini kehilangan fungsiya untuk mendidik generasi, guru seolah hanya penyampai pelajaran, namun gagal menjadi teladan yang mampu membentuk karakter mulia pada diri pelajar. Bahkan dalam beberapa kasus guru yang terlibat aksi pencabulan dan perundungan terhadap siswanya.
Dengan berbagai masalah ini, tentu menjadi pernyataan besar mengapa kurikulum tersebut tidak mampu menyelesaikan problematika pendidikan, apa sebenarnya akar masalahnya, dan bagaimana solusinya?
Jika ditelisik lebih mendalam, Kurikulum adalah bagian dari sistem pendidikan, sedangkan penerapan sistem pendidikan mengikuti hukum yang berlaku di negara tersebut. Selama ini kita tahu bahwa hukum negeri ini mengikuti mayoritas negara dunia. Dengan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi yang mengacu Barat, secara tidak langsung juga mengambil sistem pendidikan ala Barat, termasuk kurikulumnya.