Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Program Makan Siang Gratis atau “Makan Bergizi Gratis” (MBG) yang dicanangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran secara resmi telah dibahas dalam perencanaan anggaran tahun 2025. Pada saat kajian ini ditulis, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) dan tim transisi Prabowo-Gibran menetapkan besaran anggaran MBG sebesar Rp 71 triliun pada tahap pertama di tahun 2025. Besaran ini dinilai telah memperhitungkan target defisit fiskal sebesar 2.29% – 2.82%.
Hanya saja besarnya anggaran yang akan dikeluarkan serta efektivitas dampak yang akan dihasilkan dari program ini menjadi pro dan kontra diskursus publik. Terlebih anggaran publik dan kebijakan publik sepatutnya dipertanggungjawabkan oleh para pembuat kebijakan.
Ditambah lagi belum juga dilantik, kebijakan pemerintahan terpilih terkait MBG ini sudah menuai kritik. Program makan bergizi gratis yang menjadi program andalan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih ini telah memantik perdebatan.
Sejumlah media asing pun menyoroti rencana pemerintahan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, salah satunya adalah penggantian susu sapi dengan susu ikan untuk program makan siang gratis. Kritikus mengatakan susu ikan mungkin bukan alternatif terbaik bagi anak-anak, mengingat kadar gulanya yang tinggi dan kurangnya dukungan ilmiah yang memadai mengenai manfaat kesehatan jangka panjangnya seperti dalam laporan The Strait Times berjudul ‘Fish milk instead of cow’s milk? Idea for Prabowo’s free lunch scheme creates a stir in Indonesia’.
Koran asal Singapura, The Straits Times ini melaporkan susu ikan sudah lama menjadi inovasi pemerintah RI. Pada 2023, pememerintah RI memainkan peran kunci dalam meluncurkan susu ikan yang dikembangkan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan.
Topik susu ikan menjadi semakin ramai dibicarakan di media sosial. Susu ikan yang disebut-sebut sebagai alternatif susu sapi untuk program makan bergizi gratis dari Presiden terpilih Prabowo Subianto, dikritisi oleh seorang pakar, Epi Taufik, Ahli Ilmu dan Teknologi Susu, Dosen Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menuturkan, susu ikan seharusnya berasal dari jenis ikan mamalia (mammae) (Kompas.com 11-09-2024).
Selayang Pandang Program MBG
Program MBG akan mulai diberlakukan pada 2 Januari 2025. Pemerintah menargetkan jumlah penerima MBG sebanyak 15,42 juta jiwa yang terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di 514 kabupaten/kota.
Dalam program ini, makanan yang disediakan mengikuti standar kecukupan gizi yang ditetapkan, termasuk protein, vitamin, mineral, dan energi. Berdasarkan riset Center for Indonesian Policy Studies, terdapat 21 juta jiwa atau 7% dari populasi penduduk Indonesia kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kemenkes, 2.100 kilo kalori (kkal). Tercatat pula, 21,6% anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting pada 2023. Sedangkan 7,7% lainnya menderita wasting alias rendahnya rasio berat badan berbanding tinggi badan.
Berawal dari tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia inilah, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran mengeklaim akan memperbaiki dan meningkatkan gizi anak melalui program unggulan bernama makan siang gratis (sekarang berganti nama menjadi makan bergizi gratis). Namun, nyatanya sejak awal Program Makan Bergizi Gratis ini dijanjikan pasangan Prabowo-Gibran saat kampanye Pilpres, ikontroversi terkait program ini sudah mencuat.
Program tersebut dianggap tidak menyentuh akar persoalan karena pada awalnya dinyatakan untuk menyelesaikan persoalan stunting pada anak-anak. Padahal menurut WHO, penanganan stunting seharusnya dilakukan pada 1000 hari awal kehidupan. Perbaikan nutrisi yang dilakukan setelah masa tersebut jelas sangat terlambat, terlebih karena programnya menyasar anak usia sekolah.
Selain itu, program ini juga berpotensi menimbulkan persoalan baru. Alokasi dana Rp 71 triliun itu sempat disebut oleh Prabowo, akan diambilkan dari anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Miris. Andai ini dilakukan, bagaimana nasib anggaran pendidikan dan kesehatan, karena kedua anggaran ini saja sangat rendah. Program MBG menjadi masalah yang disolusi dengan masalah.
Patut Dikritisi
Program MBG yang dicanangkan dalam rangka meningkatkan kualitas generasi, rasanya sulit diyakini untuk bisa terealisasi. Banyak hal yang patut diperhatikan terkait program ini. Pandangan kritis harus dipaparkan agar kebijakan ini tidak menjadi kebijakan yang ambyar.
Di mulai dengan adanya inkonsistensi dan polemik yang disuguhkan pasangan Prabowo-Gibran. Polemik susu sapi diganti susu ikan. Proyeksi anggaran Rp 15.000 menjadi Rp 7.500 per porsi. Inkonsistensi ini telah merajut pertanyaan krusial, mampukah nutrisi terpenuhi dengan kandungan nutrisi susu ikan (terlalu banyak kandungan gizi yang terdegradasi dalam pembuatan-kesetaraan gizi dengan susu sapi tidak rigid). Alih-alih terpenuhi generasi malah mengonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan. Demikian juga anggaran yang ditawarkan, cukupkah anggaran sedemikian? Itu kritikal poin yang pertama.
Jika dilihat, dari program yang ditawarkan ini, seakan pemerintah telah berlepas diri dari tanggung jawabnya dalam memenuhi gizi generasi. Kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung justru telah memberikan peluang besar bagi korporasi untuk meraup keuntungan. Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan) sehingga ada kesempatan bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini. Ini adalah kritikal poin kedua.
Bayangkan, sebelumnya Indonesia telah menjadi pasar ekspor produk susu terbesar ketiga bagi Australia dengan nilai sekitar 130 juta dolar AS per tahun. Tidak menutup kemungkinan peluang besar ini akan direalisasikan Australia dalam program susu ikan gratis. Sebagai gambaran, untuk memenuhi kebutuhan pangan 82,9 juta anak sekolah selama satu hari saja dibutuhkan 4 juta kiloliter susu segar. Tidak terbayang berapa banyak keuntungan yang didapat korporasi dari produksi susu ikan ini.
Terkait ini pun pemerintah mengeklaim program makan bergizi gratis, termasuk susu ikan gratis, akan membantu petani skala kecil dan produsen pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan. Selain itu, perluasan sektor pangan dengan adanya program ini akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Kebanyakan, produksi pangan yang dikelola korporasi menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih murah harganya. Untuk efisiensi, negara pasti mempertimbangkan memilih produk pangan dengan kualitas baik dan harga terjangkau. Jika demikian, petani dan produsen lokal pasti terkena dampak buruknya. Dan sudah jamak kita ketahui, sarana produksi pertanian yang dimiliki petani lokal masih jauh dari standar. Kekalahan dalam modal dan kecanggihan alat pertanian kerap membuat kualitas produk petani lokal lebih rendah daripada produk pertanian milik korporasi. Yang terjadi, petani lokal justru kalah bersaing dengan produsen pemilik modal besar (kapitalis) dari aspek harga dan kualitas produk. Ini kritikal poin ketiga.
Kritikal poin yang keempat adalah, bahwa program MBG akan sulit mewujudkan generasi berkualitas. Hal ini dikarenakan masalah stunting dan gizi buruk hanyalah persoalan cabang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tidak terpenuhi karena pendapatan rakyat lebih rendah dibandingkan pengeluaran. Kondisi rakyat saat ini besar pasak daripada tiang karena pendapatan kecil, bahkan tidak ada. Sementara itu, pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar terus meningkat. Jika kondisi ini terjadi secara berkelanjutan, angka kemiskinan bisa meningkat sehingga memengaruhi tingkat stunting dan gizi buruk.
Melihat beberapa kritikal poin di atas, sesungguhnya jika ditinjau dari sisi gizi, sebenarnya masalah yang harus diatasi adalah bukan dengan program MBG, tetapi yang harus segera diselesaikan adalah masalah kemiskinan yang menghalangi terbentuknya generasi berkualitas. Generasi sehat dan kuat yang mampu mewujudkan kemuliaan.
Tragisnya, sistem demokrasi kapitalisme telah meniscayakan kemiskinan. Sistem ini telah melahirkan sistem negara yang lalai menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat.
Sistem demokrasi kapitalisme ini telah menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan. Bagaimana tidak, dengan pendapatan masyarakat rendah, lapangan kerja sempit, dan tingginya kenaikan harga pangan bergizi bagi keluarga, kemiskinan semakin mendera. Kondisi ekonomi yang terus membelit peningkatan stunting dan gizi buruk pun melejit.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme ini negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelayan rakyat. Demokrasi adalah sistem yang pada praktiknya berbeda dari teori. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hanya sekedar celoteh di siang bolong. Makan siang gratis belum tentu segratis tawarannya. Bisa jadi akhirnya berbayar pula.
Sungguh pemimpin terpilih dari sistem demokrasi sejatinya memang tidak bisa melayani rakyat sebagaimana janji-janjinya. Program MBG mulai tercium aroma bisnis dibanding upaya realisasi gizi untuk generasi.
Dalam sistem ini satu kebijakan, selalu berpeluang bagi korporasi untuk mengambil porsi yang seharusnya menjadi porsi negara. Indikasi MBG menjadi program industrialisasi korporasi dan investasi dalam sektor pangan terdeteksi.
Sebuah kritik mendasar bagi pemimpin negara ini. Negara seharusnya menyediakan layanan terbaik di semua bidang bagi rakyat. Sistem demokrasi transaksional yang selalu membuat peran tersebut termarginalkan dari semua kebijakan penguasa, harusnya dihilangkan. Karena selama sistem demokrasi transaksional ini berlangsung, sektor strategis yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat akan terus saja dikomersialisasi. Kesehatan, pendidikan, dan pangan, senantiasa menjadi sasaran empuk untuk dikomersialisasi.
Kualitas Generasi Dijamin dalam Islam