Oleh Sri Yana, S.Pd.I.
Pegiat Literasi
Air adalah kebutuhan pokok masyarakat. Tak terbayang bilamana tak ada air bersih. Padahal sebagian besar tubuh manusia mengandung air, kurang lebih 60% dari total berat badan. Air memiliki banyak fungsi dalam tubuh di antaranya: melarutkan zat gizi, membantu proses pencernaan, mengatur suhu tubuh, melumasi sendi, dan menjadi media pengeluaran zat sisa (urine). Oleh karena itu, manusia butuh minum air kurang lebih sebanyak 2 liter. Bagaimana jadinya bilamana masyarakat krisis air bersih?
Krisis air bersih tengah menjadi sorotan di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya menimpa kurang lebih 10.000 warga Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, sejak bulan November 2024 lalu. Krisis air bersih terjadi karena putusnya pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang terletak di bawah laut akibat tersangkut jangkar kapal. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Kabupaten Probolinggo, Oemar Sjarif, menyatakan bahwa pihaknya setiap hari mengirimkan air bersih melalui kapal penyeberangan dengan total pengiriman antara 4.000-26.000 liter air. (Kompas.com, 03/12/2024).
Ya, sudah sebulan lebih tidak ada air bersih di Gili Ketapang. Air bersih yang ada pun harus menunggu kiriman dari BPPD. Tak dapat dibayangkan jika air bersih datang terlambat maka masyarakat akan kekurangan air untuk kebutuhan makan dan minum, serta untuk kebutuhan rumah tangga.
Jika ditelaah, krisis air bersih yang masih terjadi di beberapa daerah disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya akibat sumber-sumber mata air dikuasi oleh para korporasi untuk industri. Alih fungsi lahan yang merusak daerah resapan, pencemaran DAS akibat buruknya tata lingkungan, industrialisasi, dan buruknya perilaku masyarakat juga menjadi penyebab kelangkaan air bersih.
Beginilah sistem kapitalisme sekularisme menyebabkan kondisi masyarakat mengalami krisis air atau kesulitan mengakses air bersih dengan cukup, berkualitas, dan gratis. Negara dalam sistem kapitalisme ini mengabaikan perannya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi rakyat. Sistem ini alih-alih memperbaiki tata kelola air, negara malah bertindak sebagai calo yang turut mencari untung dari kebutuhan rakyat, termasuk air.
Sungguh sulit hidup di sistem ini untuk mengakses kebutuhan air saja begitu sulit dan dipersulit. Buktinya saja banyak sumber mata air pegunungan yang dibuat minuman kemasan, yang tata kelolanya dipegang oleh para kapital. Sementara, penduduk di sekitar tidak bebas mengambil air. Bahkan mata airnya sekelilingnya di tutup oleh tembok-tembok tinggi.
Dalam naungan kapitalisme semua dapat diperjualbelikan, termasuk air yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Sudah dikapitalisasi, pelayanannya pun kerap kali tak berkualitas. Misal, apabila ada kerusakan pipa PDAM semestinya ditangani dengan cepat, jangan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Sehingga mengganggu kegiatan di daerah tersebut.