Oleh Nalita Septyarani, S.Tr.Keb., Bdn., CHE.
Aktivis Muslimah & Praktisi Kesehatan
“Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intannya terkenang
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa.”
(Lirik lagu “Ibu Pertiwi” ciptaan Ismail Marzuki)
Negeri yang dahulu terkenal karena kekayaan alam, kini perlahan mulai kehilangan jati dirinya. Semua keindahan dan kekayaan alam perlahan menjadi kenangan belaka karena serakahnya para kapitalis mengeruk segala isinya untuk kepentingan pribadi.
Tanah Air, perpaduan dari kata tanah dan air yang pernah melimpah ruah di Indonesia. Kini menjadi trending topik yang seakan-akan tiada solusinya. Kekeringan di berbagai wilayah masih melanda dan belum ada solusi di tengah maraknya rencana pemerintah melakukan pembangunan besar-besaran.
Lebih dari 10.000 penduduk Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, kini tengah mengalami kekurangan pasokan air bersih. Krisis ini disebabkan oleh putusnya pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang terletak di dasar laut. Masalah tersebut berlangsung sejak 7 November 2024, dan berdampak signifikan pada kebutuhan air bersih masyarakat. (PROBOLINGGO, KOMPAS.com)
Di berita yang lainnya, jarak ribuan kilometer tidak menyurutkan niat Viyata Devi–perempuan berusia 53 tahun–mengayuh sepedanya dari Jakarta menuju Bali, demi mewujudkan harapan membangun akses air bersih di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Krisis Air Bersih di Tanah yang (Seharusnya) Subur
Krisis air bersih padahal sumber daya air di negeri ini melimpah menunjukkan ada salah tata kelola air yang membahayakan kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab krisis air adalah banyak berkurangnya daerah untuk resapan air.
Menurut Bappenas, kerusakan hutan menjadi penyebab kelangkaan air di beberapa wilayah seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang memiliki hutan sangat sedikit sehingga sangat rentan terhadap kekeringan. Berkurangnya pohon dan wilayah daya resap air menyebabkan banyak air yang tidak terserap dengan baik sehingga yang ada hanyalah air yang membawa polutan atau kualitasnya masih kotor tidak layak untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.
Sistem kapitalis memaklumi bahkan mendukung eksploitasi hutan secara besar-besaran demi kepentingan sebagian pihak, tanpa memperhatikan keberlangsungan hidup orang banyak. Kawasan hutan dan tanah yang subur dialihfungsikan menjadi kawasan ekonomi industri yang merusak tatanan ekosistem alami.
Kapitalisme hanya memikirkan bagaimana mendapatkan untung sebesar-besarnya dan mengesampingkan jeritan banyak orang yang terdampak dari pembangunan tanpa diberikan solusi yang hakiki. Liberalisasi menjadikan sektor air diolah oleh pihak swasta atau menjadi kepemilikan pribadi. Padahal seharusnya air merupakan kepemilikan umum. Negara wajib mengurus agar pendistribusiannya adil merata kepada segala lapis masyarakat tanpa terkecuali.
Beberapa penyebab krisis air, yaitu adanya libelarisasi air yang dikelola oleh pihak asing, ketersediaan dan distribusi air yang tidak merata, infrastruktur yang tidak memadai. Selain itu, adanya pencemaran industri yang disebabkan limbah tidak diolah dengan baik yang mengakibatkan pencemaran air.
Manajemen sumber daya air pun kurang efisien, pendanaan yang tidak memadai, kesadaran dan pendidikan masyarakat yang minim. Semua itu menimbulkan pola konsumsi air yang boros, pengaruh urbanisasi dan pertumbuhan penduduk, serta teknologi yang kurang memadai.
Jeritan rakyat selama bertahun-tahun belum juga ada solusi sampai saat ini. Padahal air adalah hal yang sangat krusial dalam keberlangsungan makhluk hidup. Penguasa seakan abai dalam bergerak cepat menanggapi persoalan ini. Negeri ini membutuhkan visi politik sumber daya alam yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat, hal itu hanya terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh peraturan Islam.