Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi mencatat ada 29 desa di 8 kecamatan di Kabupaten Bekasi mengalami krisis air bersih. BPBD mendistribusikan ratusan ribu liter air bersih ke warga. Dilansir di situs Pemkab Bekasi, Rabu (04-09-2024), delapan kecamatan yang mengalami kekeringan adalah Kecamatan Sukawangi, Babelan, Muaragembong, Cabangbungin, Pebayuran, Karangbahagia, Bojongmangu, dan Cibarusah.
Ini baru sebagian dari wilayah Bekasi. Jika kita masih mau memperhatikan terkait krisis air, tak hanya Bekasi yang mengalami. Masih banyak wilayah di negeri ini yang bernasib sama. Padahal air merupakan kebutuhan mendasar manusia. Penting bagi kesehatan, juga penting untuk menyokong kebutuhan hidup manusia. Artinya, air memiliki nilai guna yang tinggi bagi manusia.
Kapitalisasi Air di tengah Krisis Air
Akhir-akhir ini krisis air mengancam kehidupan. Tidak terkecuali Indonesia yang diperkirakan akan mengalami krisis air bersih pada 2040.
Saat air bersih sangat sulit dijangkau, bahkan tidak ada di suatu daerah, dan jika ada pun kocek terogoh kian dalam untuk membeli air bersih, kondisi ini menunjukkan krisis air menghampiri begitu menyedihkan. Alhasil masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah cenderung mengonsumsi air apa adanya tanpa memerhatikan aspek layak atau tidak untuk digunakan.
Jika mengingat kembali pada keberadaan World Wide Fund for Nature (WWF) seolah ada kebaikan dan kemaslahatan untuk rakyat. Konon dengan adanya proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) akan memenuhi kebutuhan domestik (rumah tangga) agar masyarakat menikmati air minum berkualitas dengan harga terjangkau, berkesinambungan selama 24 jam, serta meningkatkan perbaikan kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan air bersih. (Sahabat PU, 13-5-2022).
Realitanya, rakyat tetap saja tidak mampu menjangkaunya. Cuan tetap berada pada nominasi teratas untuk mendapat air bersih. Proyek SPAM bagai tiada guna. Keuntungan paling besar tetap saja diraih oleh pengelola yaitu perusahaan, investor, dan pengusaha yang terlibat dalam proyek tersebut.
Belum lagi proyek tersebut menjadi lahan basah bagi para oknum pejabat untuk bancakan uang haram. KPK menduga telah terjadi praktik suap dalam 20 proyek SPAM. Banyak pejabat internal PUPR yang diperiksa karena masifnya praktik korupsi di proyek ini. Sementara itu, rakyat yang hanya berposisi sebagai konsumen harus patuh membayar berapa pun tarif yang ditetapkan pemerintah untuk menikmati air bersih produksi SPAM.
Kapitalisasi air bergejolak ditengah krisis air yang dihadapi rakyat. Padahal sejatinya air tersedia melimpah di alam secara gratis. Namun dalam naungan kapitalisme, air menjadi komoditas yang diperdagangkan. Jika punya uang, rakyat bisa mengakses air bersih. Jika tidak punya uang, rakyat terpaksa harus menggunakan air tanah yang ada sekalipun telah banyak tercemar limbah.
Mengenaskan. Jika kita melihat data Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hingga akhir 2019, akses air bersih baru mencapai 72%. Akibatnya rakyat harus membeli air kemasan untuk minum. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan BPS (Maret 2023) menunjukkan bahwa mayoritas atau 40,64% rumah tangga Indonesia menggunakan air kemasan bermerek atau air isi ulang sebagai air minum.
Sebenarnya, air kemasan bukanlah sumber air yang berkelanjutan. Seharusnya, tiap-tiap rumah tangga memiliki sumber air minum utama yang berkelanjutan berupa air terlindungi, yaitu leding, sumur bor atau pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, atau air hujan. Sayangnya, saat ini mayoritas air di rumah warga tidak layak untuk diminum karena kualitasnya buruk. Bahkan saat ini sangat sulit. Kekeringan dan kekurangan air begitu dahsyat menerjang kehidupan manusia.
Itu satu sisi dari konsumsi air. Sisi lainnya, dari sisi kebutuhan pengairan. Banyak lahan pertanian yang terdampak dan akhirnya mangkrak dari pengelolaan yang harusnya berkesinambungan.
Kekeringan akibat bencana hidrometeorologi memang bagian dari fenomena alam. Hanya saja, minimnya langkah antisipasi dan mitigasi menyebabkan makin parahnya akibat yang dirasakan masyarakat, khususnya krisis mendapatkan air bersih. Juga mengalirnya air ke lahan-lahan rakyat.
Sesungguhnya krisis air bukan terjadi kali ini saja. Bukan pula disebabkan musim kemarau, melainkan merupakan masalah tahunan yang berulang.
Kekeringan seakan menjadi peristiwa biasa yang menyengsarakan. Namun rakyat tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap krisis air segera usai.
Pada 2035 nanti, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia diperkirakan hanya akan tersisa 181.498 meter kubik yang berkurang jauh dibanding 2010 (265.420 meter kubik). Dengan penurunan ini, semakin besarlah jumlah penduduk yang sulit mendapat air bersih. Ditambah lagi pemenuhan akses air bersih melalui perpipaan, saat ini baru terwujud sebesar 22%. Walhasil ketimpangan mendapat air bersih pun terjadi.
Sayang beribu sayang, pananganan serius dan signifikan belum terlihat dalam mengatasi krisis air. Berulangnya krisis, bahkan dengan intensitas yang lebih luas dan parah menunjukkan eksistensi pemerintah seakan ada namun tiada. Tak menyolusi. Alih-alih menyelesaikan, kapitalisasi malah semakin menjadi. Maraknya bisnis air kemasan menunjukkan bahwa ketika negara abai, para pebisnislah yang akhirnya menyediakannya. Sehingga untuk memperoleh air berkualitas masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya. Wajar jika akhirnya pengeluaran rumah tangga bertambah. Apalagi air adalah kebutuhan dasar manusia.
Krisis Air Bergulir Hanya Islam yang Menyolusi
Terkait air, Islam memiliki perhatian besar. Islam menjadikan air sebagai salah satu pembahasan penting dalam literatur ilmu Islam. Untuk beribadah, untuk kesehatan, untuk kabersihan, untuk dikonsumsi, untuk pertanian, dll. air begitu penting.