Oleh. Rafina
(Pemerhati Remaja)
Kasus kekerasan seksual pada anak semakin hari kian mengenaskan. Hampir setiap hari pemberitaan diwarnai dengan kisah serupa.
Seperti kasus yang baru saja terjadi, anak laki–laki berinisial MA (enam tahun) asal Sukabumi menjadi korban kekerasan seksual sodomi dan pembunuhan. (kumparan, 03/05/2024)
Sungguh mengejutkan, pelaku pembunuhan tersebut adalah remaja yang masih berusia 14 tahun dan merupakan teman bermain korban. Pelaku pun melakukan pembunuhan dan kekerasan seksual seorang diri. Perbuatan zalim tersebut dilakukan pelaku di dekat rumah nenek korban, yaitu di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten sukabumi.
Jumlah kasus anak yang berkonflik dengan hukum terus meningkat setiap tahunnya. Data dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Statusnya pun berbeda-beda pada setiap anak, di antaranya ada yang berstatus tahanan dan ada juga yang masih menjalani proses peradilan (kompas, 29/08/2023).
Inilah output generasi dari sistem kehidupan saat ini, yaitu sistem sekularisme kapitalis. Pemisahan agama dengan kehidupan merupakan asas dari sistem kapitalisme yang mengedepankan nilai materi.
Asas sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan menjadi nilai kehidupan di tengah-tengah remaja. Sehingga kehidupan remaja saat ini semakin bebas dan jauh dari nilai-nilai agama. Bahkan agama dianggap nilai yang terbelakang. Tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan mereka.
Sistem kapitalis juga mengajarkan remaja hanya mengejar materi dalam kehidupannya. Kebahagiaan dipandang hanya dengan kekayaan, ketampanan dan kecantikan. Terkenal, punya gadget terbaru, kehidupan yang mewah menjadi cita-cita remaja hari ini. Nilai materi menjadi kebahagiaan sesaat dan candu yang memabukkan bagi remaja.
Dari sistem kehidupan kapitalis inilah akhirnya muncul masalah-masalah di dunia remaja. Mental health, pembullyan, pembunuhan, kekerasan seksual, bunuh diri dan masih banyak yang lainnya. Bukan lagi sekadar kenakalan biasa, tapi tindakan kriminal yang menjadikan remaja sebagai pelaku dan sekaligus korban.
Kondisi ini diperparah dengan sistem hukum yang berlaku. Sanksi yang tidak tegas dan tak memberi efek jera. Apalagi jika pelaku kriminal masih terkategori anak yaitu yang berusia di bawah 18 tahun, sanksi yang dikenakan akan lebih ringan. Tak jarang, hanya diberi nasehat atau dikembalikan ke orang tua untuk dibina lagi.