Opini

Korupsi Ironi Negeri Sekuler Kapitalistik

261
×

Korupsi Ironi Negeri Sekuler Kapitalistik

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Berbicara tentang korupsi di negeri ini bagai pendongeng yang tak bisa berhenti bercerita. Korupsi terlalu sering terjadi seakan tidak ada yang menangani.

Berbagai kasus korupsi silih berganti. Dua kasus korupsi terkini cukup menyita perhatian publik.  Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong dan dugaan gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dalam kasus pemberian fasilitas jet pribadi, menjadi perbincangan yang cukup panas.

Terlebih saat KPK menyatakan pemberian fasilitas kepada putra bungsu Jokowi itu bukanlah gratifikasi karena Kaesang bukan penyelenggara negara, namun ia terpisah dari orang tuanya. Selain itu juga fasilitas tersebut hanya berupa jasa yang langsung dinikmati oleh Kaesang, bukan barang atau bentuk gratifikasi lainnya yang memengaruhi kebijakan negara, ini sungguh menyesatkan.

Siapa pun tahu bahwa Kaesang adalah putra Presiden Jokowi. Pemberian fasilitas untuk Kaesang jelas karena ia putra presiden, bukan semata individu Kaesang. Dengan demikian, fasilitas jet pribadi itu terkategori gratifikasi yang merupakan salah satu jenis korupsi berdasarkan Pasal 12B dan 12C UU Tipikor. Selain itu, Pasal 12B Ayat 1 UU Tipikor menyebutkan bahwa gratifikasi tidak mesti dalam bentuk barang, tetapi juga dalam bentuk fasilitas/jasa.

Terpampang nyata keputusan KPK yang membebaskan Kaesang menunjukkan campur tangan kekuasaan dalam pengusutan kasus Kaesang. Perbedaan perlakuan terhadap kasus Tom Lembong dan Kaesang menunjukkan bahwa negara telah melakukan ketidakadilan dalam mengusut kasus korupsi.

Sikap pemerintah seperti ini pun tampak juga pada beberapa kasus korupsi. Penanganan yang lambat dan tidak kunjung usai seperti kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun,  kasus Bank Century, dana BLBI, dan juga kasus KTP elektronik. Praktik yang sangat niscaya dalam sistem sekuler kapitalisme.

Sungguh kondisi ini telah menunjukkan konsep persamaan di depan hukum tidak terwujud. Pengusutan korupsi seakan tak ada aksi. Meski sudah ada KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, korupsi masih saja terjadi, bahkan makin parah. Wajarlah jika berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023, Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100. Skor ini lebih rendah dari rata-rata global, yaitu 43.

Sejatinya dalam kapitalisme,  korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi. Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut, demikian yang dinyatakan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup pada abad ke-19.

Sistem yang berasaskan sekularisme telah menihilkan peran agama dalam kekuasaan. Alhasil,  kekuasaan yang diwarnai tindakan korup menjadi perilaku rusak yang biasa terjadi. Nihilnya kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa serta dijadikannyw agama hanya boleh termanifestasi dalam sektor privat, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak semakin melambungkan tindakan bejat korup di ranah publik.

Di ranah publik yang salah satunya adalah sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir dan mengatur. Jadilah kekuasaan melenggang secara liberal. Penguasa seolah-olah berwenang untuk berbuat suka-suka demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya, termasuk di dalamnya  tindakan korup.

Sungguh, tata pemerintahan demokrasi telah menjadikan manusia sebagai pembuat aturan  demi melanggengkan kekuasaan, termasuk di antaranya memuluskan korupsi. Sistem hukum dan persanksian pun dibuat dan ditafsirkan sedemikian rupa agar rezim berkuasa  aman dari jerat hukum meski bertindak korup. Siapa pun lawan politiknya akan dijegal sedemikian rupa hingga jerat hukum menimpanya.

Sistem sekuler kapitalisme telah merealisasikan kekuasaan tidak tunduk terhadap hukum. Mempermainkan hukum menjadi Hal biasa.  Akhirnya korupsi tidak ditumpas, padahal penegakan hukum harus terwujud jika ingin memberantasnya.

Korupsi Tuntas, Islam Solusinya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *