Opini

Ketika Guru Tak Dapat Lagi Ditiru

71
×

Ketika Guru Tak Dapat Lagi Ditiru

Sebarkan artikel ini

Oleh Guspiyanti

Guru dalam filosofi Bahasa Jawa memiliki makna ‘digugu lan ditiru’. Digugu berarti setiap perkataan dan perbuatannya harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru berarti setiap sikap dan perbuatannya pantas untuk dijadikan tauladan bagi siswa.

Sayangnya ada oknum guru tak dapat lagi di tiru. Seharusnya menjadi pendidik malah menjadi pelaku asusila. Sebagaimana telah viral di media sosial adanya kasus dugaan pelecehan oleh guru SMP di Kabupaten Paser, telah sampai ke proses hukum di Polres Paser.

Kasat Reskrim Polres Paser Iptu Helmi S. Saputro melalui Kanit II Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Ipda Alam Syari mengatakan kini kasus tersebut sudah dalam tahap penyidikan, namun terlapor belum ditahan karena penyidik masih mengumpulkan keterangan dari saksi dan para ahli.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Paser M Yunus Syam menyampaikan sejak adanya laporan dugaan kasus pelecehan ini, guru terlapor tersebut memang masih bertugas di sekolah membantu tenaga kependidikan, tapi tidak lagi mengajar dan bersinggungan dengan murid. Sebab Disdikbud tidak bisa memberikan sanksi kecuali jika ada penetapan oleh Polres, maka akan langsung diproses non-aktif. (Kaltim post.id)

Guru yang semestinya menjadi pengayom dan teladan dalam berperilaku malah berbuat asusila kepada anak didik. Kasus seperti ini bukan saja bentuk kriminal atau kejahatan, tetapi telah mencederai profesi guru yang notabene memiliki tugas mulia mendidik generasi.

Perlu upaya untuk meminimalisasi dan mencegah tindak asusila ataupun kekerasan seksual terhadap anak. Namun, sejumlah regulasi rupanya belum cukup menangkal hal ini. Di mana letak kesalahannya? Bagaimana solusi solutif untuk memberantas secara tuntas kasus kekerasan seksual dan perbuatan asusila yang mengancam generasi.

Biang Kerok

️Merebaknya kasus asusila terhadap anak khususnya di dunia pendidikan membuktikan pendidikan telah gagal dan tidak mampu menghasilkan output yang bertakwa. Ketika output yang dikejar sebatas nilai akademi maka tidak bermoral pun bukan masalah.

Sistem kapitalis sekuler telah menjadikan agama sekedar ibadah ritual yang tidak diberi peran untuk mengatur kehidupan manusia. Menjadikan pola kehidupan semakin liberal yang memengaruhi cara pandang dan perilaku manusia. Merasa bebas melakukan apapun sesuai kehendak syahwat. Tidak lagi memandang halal dan haram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *