Sementara itu, pemerintah yang semestinya bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. Pemerintah justru abai untuk memberikan perhatian. Bahkan mirisnya pemerintah justru menghilangkan subsidi satu demi satu misalnya pupuk, bibit dan lain sebagainya. Alhasil untuk menghasilkan produksi yang berkualitas petani sangat sulit.
Ditambah lagi, mekanisme pendistribusian pangan masih menjadi polemik. Banyak rakyat yang tidak mampu untuk menjangkau harga pangan. Di samping itu, kecurangan yang dilakukan di pasar masih sering terjadi.
Apalagi negara hanya berlaku sebagai regulator dengan oligarki. Negara bukan lagi mengurusi urusan rakyat tetapi negara berlaku sebagai pembisnis untuk meraih keuntungan. Karena itu, sistem kapitalisme tidak dapat mewujudkan ketahanan pangan meski berstatus negeri agraris.
Berbeda dengan Islam. Dalam Islam negara bertanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat termaksuk dalam mewujudkan ketahanan pangan baik dalam produksi dan distribusi yang dikelola oleh negara. Adapun swasta hanya boleh terlibat tetapi semuanya dibawah kendali negara. Penguasa harus memastikan bahwa setiap negara mampu mengkses pangan.
Sistek Islam pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun.
Aturan tentang kepemilikan lahan yang bersatu dengan produksi akan meningkatkan produktivitas pertanian. Ditambah kebijakan penguasa yang fokus pada kesejahteraan umat, seperti penyediaan saprodi yang dipermudah, akan makin menambah gairah para petani untuk terus menanam.
Demikianlah sejumlah mekanisme dalam Islam yang dapat mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan mengantarkan pada kedaulatan negara.
Wallahu A’lam Bisawwab