Oleh: Jelvina Rizka
Menjelang pemilu pilkada, kesadaran politik Gen-Z menjadi topik yang semakin relevan. Generasi yang dikenal kritis dan melek teknologi ini mulai mempertanyakan tatanan politik modern yang didominasi oleh demokrasi. Dari sudut pandang Gen-Z, demokrasi kerap dipandang sebagai sistem yang menjanjikan kebebasan namun sering kali melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan.
Dilansir dari Jakarta (ANTARA) – Melihat penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 yang semakin dekat, Gen Z kian mengekspresikan dan mengunggah antusiasmenya sebagai wujud kontribusi positif dalam menentukan pilihannya. Beragam corong dan titik terus mereka telusuri demi tercapainya pemimpin yang layak untuk lima tahun ke depan. Bentuk ekspresi mereka mulai dari ketidakpuasan, kritik, hingga rasa ingin tahu pun terlihat jelas dari beberapa unggahan di media sosial. Bahkan, sebagian jari-jari mereka terlihat mulai mengarah untuk memutuskan tak peduli dan berniat golput di pilkada yang nantinya diselenggarakan pada 27 November mendatang (antaranews.com, 7 November 2024).
Fenomena antusiasme Gen Z menjelang Pilkada Jakarta 2024 mencerminkan pergeseran pola partisipasi politik generasi muda yang semakin terlihat dinamis dan kompleks. Di satu sisi, keterlibatan aktif mereka dalam menyuarakan pendapat di media sosial menunjukkan kebangkitan kesadaran politik di kalangan generasi ini. Namun, di sisi lain, munculnya tren golput juga mencerminkan adanya ketidakpercayaan terhadap proses politik yang ada dan kekecewaan terhadap praktik demokrasi yang dianggap belum mampu memenuhi harapan mereka. Faktor ini dapat dihubungkan dengan realitas politik yang cenderung dipenuhi kepentingan elit, janji-janji kampanye yang tak terpenuhi, serta maraknya kasus korupsi dan konflik kepentingan yang melibatkan pejabat publik. Gen Z, yang dikenal kritis dan idealis, cenderung mencari sistem politik yang lebih bersih dan adil. Ketidakpuasan ini menjadi sinyal bahwa perlu ada perbaikan substansial dalam proses politik dan kepemimpinan agar generasi muda merasa suaranya dihargai dan dipercaya dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Sistem demokrasi modern, yang merupakan turunan langsung dari kapitalisme dan sekularisme, sering dikritik sebagai biang keladi di balik maraknya krisis politik dan sosial yang melanda berbagai negara, termasuk Indonesia. Demokrasi yang didasarkan pada suara mayoritas cenderung membuka peluang bagi elite kapitalis untuk memanipulasi hasil politik demi kepentingan mereka. Hal ini secara langsung berdampak pada perumusan kebijakan publik yang seringkali lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada rakyat secara luas. Lebih parahnya, sekularisme yang menjadi landasan demokrasi berupaya memisahkan aspek spiritual dan etika dari kebijakan politik, sehingga nilai-nilai moral dan agama diabaikan. Gen-Z, sebagai generasi yang paling terekspos informasi, kerap dibombardir narasi yang membingungkan antara kebebasan individual dan tanggung jawab sosial. Akibatnya, kesadaran politik mereka cenderung terjebak dalam kerangka berpikir pragmatis dan materialistis yang dihembuskan kapitalisme. Ini berpotensi merusak pemikiran mereka dan menjauhkan dari solusi berbasis ideologi Islam yang menekankan keadilan holistik, baik secara spiritual maupun sosial.
Dalam konteks ini, muncul dorongan bagi Gen-Z untuk mencari alternatif yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan sejati, salah satunya adalah dengan memahami politik Islam sebagai antitesis dari demokrasi modern yang penuh kompromi. Kesadaran politik berbasis Islam dinilai dapat menawarkan solusi yang lebih adil dan komprehensif bagi masa depan bangsa.