Oleh : Nur Aiza Wadhurianti (Pegiat Literasi)
Guru merupakan pilar penting dalam membangun peradaban suatu bangsa, namun kesejahteraan mereka kerap menjadi isu yang terabaikan. Meskipun pemerintah telah mengumumkan rencana kenaikan gaji atau tunjangan, kebijakan ini masih menuai pertanyaan terkait dampaknya terhadap kehidupan para guru. Dalam realitas sistem kapitalisme saat ini, kesejahteraan guru sering kali tergerus oleh tingginya biaya hidup dan minimnya dukungan negara.
Belum lama, pengumuman Presiden Prabowo Subianto terkait rencana kenaikan gaji guru pada peringatan Hari Guru Nasional, Kamis (28/11/2024), menuai tanggapan beragam dari organisasi guru dan aktivis pendidikan. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyatakan bahwa pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan guru. “Hal ini memicu ketidakpastian, kekhawatiran, dan kebingungan, terutama di kalangan guru ASN,” ujar Satriwan dalam keterangannya yang dikutip Detikedu.com,(30/11/2024).
Pernyataan presiden terkait gaji guru nyatanya bukanlah kenaikan gaji, melainkan hanya kenaikan tunjangan untuk guru swasta atau non-ASN, dan itu pun hanya sebesar Rp500 ribu saja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah kurang serius dalam kebijakan yang telah dibuatnya untuk menjamin kesejahteraan guru. Kenaikan tunjangan ini sudah jelas tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru.
Sejatinya kesejahteraan rakyat tidak hanya bergantung pada besarnya gaji dan tunjangan yang diterima, tetapi juga erat kaitannya dengan kondisi ekonomi yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam penerapan sistem kapitalisme saat ini, berbagai kebutuhan pokok masyarakat membutuhkan biaya besar yang harus ditanggung oleh setiap individu, termasuk guru.
Berbagai kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, BBM, gas, listrik, hingga pajak semakin mahal, sementara kenaikan gaji guru tidak sebanding dengan lonjakan biaya tersebut. Akibatnya, banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup. Beberapa bahkan terjerat pinjaman online atau terlibat dalam praktik yang merugikan seperti judi online sebagai jalan keluar dari tekanan ekonomi yang dihadapi.
Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mensurvei bahwa ditemukan fakta mengenaskan. Dalam survei tersebut memperlihatkan bahwa 89 persen guru mengungkap pendapatannya tidak mencukupi, 79 persen mempunyai utang, dan 58 persen bekerja tambahan. Bahkan, di temukan survei No Limit Indonesia pada 2021 menyatakan bahwa 42 persen dari masyarakat yang terperangkap pinjaman online ilegal adalah guru. Kasus seperti ini tidak asing. Kita sering mendengar kasus guru yang terlibat dalam judi online dan terungkap di media.
Dalam sistem ini, guru sering kali dianggap sebagai bagian dari “faktor produksi” yang tugasnya adalah mencetak individu-individu yang sesuai dengan kebutuhan industri. Semakin banyak generasi yang memiliki kemampuan bekerja, semakin besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi. Inilah tujuan sistem kapitalisme saat ini.