Opini

Kenaikan UKT, Bukti Nyata Liberalisasi Pendidikan

141
×

Kenaikan UKT, Bukti Nyata Liberalisasi Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Zulfa Khoirun Niswah

(Aktivis Muslimah)

 

Polemik tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) memanas baru-baru ini, karena kampus-kampus negeri ternama merilis biaya UKT yang naik dengan besaran yang bervariasi.
Demikian juga dengan Universitas Mulawarman yang telah merilis biaya pendidikan untuk tahun 2024/2025 yang terdiri dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) atau uang pangkal.
Dikutip dari laman resmi Unmul, UKT adalah biaya yang dikeluarkan mahasiswa setiap semesternya baik yang masuk lewat jalur SNBP, SNBT, hingga jalur mandiri.
Dalam biaya UKT Unmul 2024 terbaru, terlihat rata-rata UKT dibagi menjadi 8 golongan. Namun, ada juga yang 6, 7, bahkan 9 golongan.
Biaya kuliah atau UKT di Universitas Mulawarman tertinggi untuk tahun 2024 yaitu Rp 25 juta yaitu S1 Pendidikan Dokter Gigi/Kedokteran Gigi.

Dengan kenaikan tersebut, tentu mengundang reaksi keras masyarakat. Apalagi bagi para mahasiswa yang sangat terdampak pada kebijakan ini. Menghadapi kritikan dari berbagai pihak, juga demo dari mahasiswa, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.

*Liberalisasi Dunia Pendidikan*
Kenaikan biaya UKT adalah salah satu dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di tanah air, terutama sejak tahun 2000, melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara bukan menambah, tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.

Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.
Inilah kebijakan zalim yang merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *