Oleh Rindang Ayu, S.Pd
Di penghujung tahun 2024 ini para guru di Indonesia mendapat angin segar, pasalnya Presiden Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan gaji guru di acara puncak peringatan Hari Guru Nasional akhir bulan November kemarin (Detik.com, 30/11/2024). Meski disambut baik oleh sebagian pihak, kebijakan ini menuai kritik dan pertanyaan dari berbagai kalangan. Apakah kenaikan tunjangan tersebut benar-benar mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, atau hanya basa-basi yang tidak menyelesaikan akar permasalahan?
Kesejahteraan Guru dan Tantangan Ekonomi
Fakta di lapangan menunjukkan banyak guru yang masih berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya, diluar tugasnya mendidik generasi bangsa. Fenomena guru yang terjerat pinjaman online (pinjol) atau bahkan terlibat dalam perjudian daring (judol) menjadi cermin dari kesenjangan kesejahteraan. Bahkan data survey tahun 2021 menyebutkan bahwa guru adalah profesi terbanyak yang terlibat pinjol dibanding profesi yg lain (CNBC Indonesia.com, 17/10/2024). Tidak sedikit pula guru yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan keluarga.
Oleh karenanya, wacana kenaikan tunjangan kesejahteraan guru oleh pemerintah menimbulkan beragam reaksi. Di satu sisi dianggap sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Namun di sisi lain, kenyataan bahwa hanya guru bersertifikasi yang mendapatkan manfaat ini memicu ketidakpuasan. Banyak guru, terutama yang belum sertifikasi, merasa kebijakan ini diskriminatif.
Tidak hanya itu, untuk guru non-ASN bersertifikasi ternyata masih dibebani syarat harus memiliki 24 jam mengajar (jam tatap muka dengan peserta didik) dalam seminggu. Untuk kita ketahui, durasi satu jam mengajar itu sekitar 35—45 menit disesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Sedangkan realitasnya banyak guru non-ASN yang telah lulus PPG jam mengajarnya masih kurang dari 24. Sehingga kecil sekali kemungkinan mendapatkan tunjangan kesejahteraan guru, apalagi mengalami kenaikan.
Selain itu, kondisi ekonomi saat ini yang terus menekan daya beli masyarakat menimbulkan keraguan bahwa kebijakan ini akan benar-benar signifikan bagi kesejahteraan guru. Bagaimana tidak, guru yang juga merupakan bagian dari masyarakat kebanyakan merasakan betul dampak carut marutnya perekonomian negeri ini. Mulai dari inflasi yang berdampak pada kenaikan harga di sejumlah bahan pokok, hingga wacana santer mengenai pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025 yang tentu berdampak pada peningkatan biaya hidup masyarakat. Maka dapat dipastikan, naiknya tunjangan kesejahteraan guru tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan nasibnya.
Kesalahan Sistemik
Permasalahan kesejahteraan guru ini tentu terjadi tidak terlepas dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dianggap sebagai komoditas ekonomi yang berbasis bisnis penguasa terhadap rakyatnya. Tak heran bila pendidikan berbiaya mahal dan biaya itu harus dibayar oleh rakyat. Akibatnya, guru yang notabene sebagai pihak yang berperan di sektor pendidikan, dianggap sebagai pekerja dalam rantai produksi, tanpa penghargaan yang memadai terhadap peran strategis mereka sebagai pendidik generasi bangsa.
Alhasil, gaji guru dipandang sebagai faktor produksi yang tentu harus dibuat serendah mungkin agar nominal keuntungan (profit) yang diperoleh bisa lebih besar. Bahkan nasib guru jauh lebih memprihatinkan dari sekadar persoalan gaji, yakni dengan adanya beban pekerjaan yang banyak maupun aspek administratif yang rumit.
Sistem kehidupan yang kapitalis sekuler saat ini juga meniscayakan buruknya kualitas pendidikan yang ada. Tidak hanya faktor kurangnya kesejahteraan guru, faktor kurikulum yang memisahkan agama dari kehidupan (sekuler), serta infrastruktur sarana dan prasarana yang berbasis bisnis (komersil) juga turut memperburuk kualitas pendidikan di negeri ini. Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan, tapi sering kali hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator belaka. Pantas saja bila biaya pendidikan semakin mahal, namun tetap gagal mencetak generasi berkualitas . Biaya pendidikan makin tak terjangkau rakyat, nasib guru juga makin sekarat.
Pengelolaan ekonomi negara dalam sistem kapitalis sekuler saat ini juga hanya menggantungkan pendapatan negara paling besar berasal dari pajak dan hutang luar negeri. Dengan dalih untuk memberikan pelayanan fasilitas umum seperti pendidikan dan kesehatan, maka hampir di segala bidang kehidupan rakyat saat ini dikenai pajak oleh pemerintah.