Riza Maries Rachmawati
Wacana kenaikan gaji guru ASN dan kenaikan tunjangan guru Non-AS membawa angin segar dikalangan para guru di Indonesia. Pengumuman kenaikan gaji guru tersebut akhirnya dilakukan pada puncak Hari Guru Nasional oleh Presdien Prabowo Subianto pada Kamis (28/11/2024) lalu. Presiden Prabowo menyataan gaji guru yang berstatus ASN akan naik sebesar satu kali lipat dari gaji pokok. Sedangkan gaji guru non-ASN nilai tunjangan profesinya akan naik sebesar Rp 2 juta per bulan. Banyak yang menyambut meriah kebijakan tersebut, namun organisasi guru dan aktivis pendidikan meminta kejelasan atas pernyataan Presiden tersebut. www.kompas.com (29-11-2024)
Bapak Mansur selaku Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan Pemerintah perlu meluruskan pernyataan mereka terkait kenaikan gaji guru. Ia menjelaskan guru swasta atau non-ASN mengira ada kenaikan fantastis tunjangan profesi sebesar Rp 2 juta. Padahal kenaikannya adalah Rp 500.000 dari yang semula sebesar Rp 1,5 juta. Kenaikkan Rp 500 ribu pun dapat diperoleh saat guru mengurus dan mendapatkan SK-Inpassing sehingga tunjangan profesi gurunya menjadi RP 2 juta atau lebih, sesuai golongan yang setara ASN. (www.detik.com, 30-11-2024)
Sementara itu guru ASN mengira tunjangan profesinya menjadi dua kalilipat gaji pokok, padahal tidak perubahan sama sekali kebijakan dari aturan sebelumnya. Tunjangan profesi guru atau TPG bagi guru ASN yang sudah mengantongi sertifikat pendidik memang sebesar 1 kali gaji pokok. Pernyataan Presiden terkait kenaikan gaji guru nyatanya bukanlah kenaikan gaji, namun hanya kenaikan tunjangan untuk guru swasta atau non-ASN itupun hanya Rp 500 ribu.
Tampaknya pemerintah tidak serius dalam menentukan kebijakan tersebut, banyak kalangan guru yang merasa tertipu dengan janji manis pemerintah yang semula akan menaikan gaji guru. Kalaupun ada kenaikan tunjangan pada guru Non-ASN, sejatinya itu tidak akan meningkatkan kesejahteraan para guru. Karena berbicara kesejahteraan rakyat tidak hanya berkaitan dengan besaran gaji dan tunjangan yang didapatkan. Akan tetapi sangat berkaitan pula dengan kondisi perekonomian yang melingkupi masyarakat.
Saat ini banyak kebutuhan rakyat yang harus ditanggung oleh setiap individu termasuk guru yang membutuhkan biaya yang besar. Artinya kenaikan gaji atau tunjangan tidak berimbang dengan kebutuhan rakyat yang semakin meroket harganya. Kenaikan harga bahan pangan pangan, papan, pendidikan, kesehatan, BBM, gas, listrik, dan PPN lebih sering terjadi dibandingkan kenaikan gaji guru. Sehingga sangat wajar kita jumpai masih banyak guru yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kekurangan biaya hidupnya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang terjerat pinjol (pinjalam online) hingga judol (judi online).
Berdasarkan dari survei Data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), ditemkan fakta memprihatinkan bahwa 89 persen guru merasa pendapatannya tidak mencukupi, 79 persen memiliki utang, dan 58 persen bekerja sampingan. Kasus guru terlibat judi online juga sangat sering kita dapatkan di media.
Kondisi tersebut jelas menggambarkan gagalnya Sistem Sekuler Kapitalisme dalam mensejahterakan guru. Sistem Sekuler telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang jauh dari karakter pemimpin Islam yang menjadikan diri mereka sebagai raa’in atau pengurus urusan rakyat. Pemikiran dan tingkah laku pemimpin sekuler yang tidak dilandasi oleh Islam menjadikan mereka mudah berbuat zalim (tidak adil), hilang rasa prihatin dan peduli pada rakyatnya hingga tidak mengasihi dan mencintai rakyatnya. Dalam sistem Kapitalisme negara pun hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, implikasinya negara melegalisasi keterllibatan pihak swastwa dalam mengelola sumber daya alam, kesehatan, hingga pendidikan.