Oleh. Siti Juni Mastiah, SE
(Anggota Penulis Muslimah Jambi dan Aktivis Dakwah)
Sepertinya rakyat kian tercekik menghadapi pajak merangkak naik. Pajak Pertambahan Nilai akan naik dari 11% menjadi 12% per Januari tahun 2025 mendatang. Dipastikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kenaikan PPN ini digunakan untuk mendanai program bantuan sosial (bansos) dan subsidi dalam membantu kesejahteraan masyarakat.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP Kemenkeu Dwi Astuti menyatakan bahwa hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN selama ini kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2023 pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 269,59 triliun untuk bantuan sosial dan subsidi. (kompas.com, 22/11/2024)
Disampaikan bahwa penerimaan negara dari penyesuaian PPN selama ini dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk pembangunan dan bantuan untuk pemberdayaan masyarakat, diantaranya berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, Program Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dana subsidi diantaranya listrik, LPG 3kg, BBM, dan pupuk.
Pemerintahan akan menaikkan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sesuai kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan bertujuan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan ini menjadi pertanyaan, apakah bantuan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama ekonomi menengah ke bawah, ditengah kondisi banyaknya kebutuhan kebutuhan masyarakat yang merangkak naik ?
Beginilah jika negara menerapkan sistem kapitalis sekuler, mengandalkan pemasukan kas negara atau APBN terbesarnya adalah dari pajak bukan dari pendapatan yang lain, seperti kekayaan alam negara yang tertuang dalam Pasal 33 ayat 3, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari pasal tersebut seharusnya pendapatan negara bisa banyak diambil dari kekayaan alam yang dimiliki oleh negara. Hanya saja karena negara kita sekarang menerapkan sistem aturan sekuler kapitalis liberal buatan manusia, maka pasal didalam Undang-Undang tersebut hanya tertuang sebagai tulisan semata, tidak direalisasikan untuk kepentingan masyarakat. Justru hari ini negara menjadi fasilitator atau regulator nya para pengusaha yang menguasai kekayaan alam negara.
Berbeda sekali jika negara menerapkan sistem yang berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala yakni sistem Islam. Dimana pemasukan terbesar negara bukan berasal dari pajak, hutang, dan investasi, melainkan dari pendapatan kekayaan milik umum dan dari pendapatan milik negara. Pendapatan dari harta kekayaan milik umum inilah yang dikatakan dalam Hadist nya Rasulullah Saw, bahwa manusia itu berserikat dalam tiga hal, yakni api berupa kekayaan alam dari dalam bumi seperti pertambangan atau batu bara, emas, nikel, gas alam, minyak bumi, timah dan sebagainya. Kemudian dari air berupa kekayaan alam dari hasil laut dan sungai. Selanjutnya yang ketiga berasal dari padang rumput yakni berupa hasil hutan.
Pendapatan negara dari pos kepemilikan umum inilah yang wajib dikelolah oleh negara untuk mensejahterahkan rakyatnya, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat seperti membiayai pelayanan dan fasilitas umum untuk kesehatan, pendidikan, keamanan, pembiayaan gaji pegawai negara, serta memudahkan negara membuka akses lapangan pekerjaan untuk rakyatnya.