Oleh Ratna Sari Dewi
Pejabat mengeklaim kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia menurun. Padahal marak PHK di mana-mana, mahalnya barang-barang, daya beli menurun dan lain sebagainya.
Jumlah orang miskin di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun hal ini terjadi di tengah rendahnya standar tingkat garis kemiskinan yang diberlakukan di Indonesia. Demi mencapai mimpi menjadi negara maju, angka kemiskinan merupakan salah satu indikator yang harus menjadi fokus pemerintah. Sayangnya selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo penurunan kemiskinan memang berkurang tapi tidak terlalu signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk miskin pada Maret 2024 mengalami penurunan sebesar 0,33 persen poin. Bila dibandingkan dengan Maret 2023, yakni menjadi 9,03 persen dari sebelumnya 9,36 persen.
“Persentase penduduk miskin turun 0,33 persen poin terhadap Maret 2023,” kata Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi di Jakarta, Senin. (1/7/2024). Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 tercatat sebanyak 25,22 juta orang, atau lebih rendah 0,68 juta dibandingkan Maret 2023 yang sebanyak 25,90 juta orang.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa sejatinya negara tidak sungguh-sungguh mengeliminasi kemiskinan dengan kebijakan nyata, tapi hanya sekedar bermain angka-angka.
Pertanyaannya, jumlah penduduk miskin Indonesia yang benar berapa? Kemiskinan itu nyata, seharusnya jumlah penduduk miskin juga bisa diketahui riilnya. Bukan versi ini dan itu.
Jika kita bandingkan, acuan garis kemiskinan versi Bank Dunia lebih realistis daripada versi BPS. Sementara itu, garis kemiskinan versi BPS terlalu rendah. Bisa kita bayangkan, apa yang bisa didapatkan dengan uang Rp550.458 per bulan? Apalagi, harga barang dan jasa makin melejit. Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan juga harus ditebus dengan uang yang tidak sedikit.
Dengan demikian, tampak bahwa data kemiskinan dalam kapitalisme ambigu, tidak riil. Ini karena kemiskinan di dalam kapitalisme diukur dengan penghasilan atau belanja. Jika dalam urusan mendata kemiskinan saja sudah tidak akurat, apalagi dalam menyelesaikan nya. Jelas jauh dari efektif.
Sistem Kapitalisme meniscayakan adanya kemiskinan apalagi dengan peran negara hanya sebagai regulator, menjadikan rakyat diabaikan sementara pengusaha dianak emaskan.
Pada dasarnya, sistem kapitalisme meniscayakan hal itu terjadi. Sistem ini sifatnya eksplosif dan destruktif. Eksplosif karena eksistensi ideologi ini tidak bisa dilepaskan dari cara penyebarannya, yakni penjajahan atau imperialisme. Ditambah, nilai kebebasan yang diagungkan menjadi dalih pembenar atas eksploitasi yang mereka (negara adidaya) lakukan pada negeri-negeri yang memiliki kekayaan SDA yang melimpah ruah.
Destruktif artinya sistem ini memiliki daya rusak yang dahsyat. Atas nama kebebasan kepemilikan dan liberalisasi pasar, satu atau dua individu bisa menguasai satu negara. Inilah yang disebut oligarki kapitalis. Tidak jarang pula liberalisasi dan eksploitasi mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem alam yang berpengaruh pada perubahan iklim secara ekstrem. Berapa banyak hutan dibabat demi industrialisasi? Berapa banyak pula tambang mineral bumi dikeruk demi kesenangan materi? Berapa banyak pula bencana alam terjadi karena kerakusan dan keserakahan kapitalis juga korporasi?
Kondisi ini merupakan konsekuensi dari reinventing government, yang mana negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Reinventing government berarti mewirausahakan birokrasi, yakni mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Sesuai definisinya, negara diurus layaknya mengurus sebuah perusahaan.
Dalam sebuah perusahaan, pasti ada unsur bisnis dan profit. Terdapat tiga prinsip dalam penerapan.
reinventing government yang begitu kental dengan nilai-nilai kapitalisme. Prinsip pertama, pemerintahan katalis (catalytic government) yang berarti negara berperan sebagai pengarah, bukan pelaksana dalam melayani urusan rakyat. Adapun yang berperan sebagai pelaksana diserahkan pada swasta atau melalui privatisasi.
Kedua, pemerintahan milik rakyat (community government). Sepintas tampak bagus, tetapi makna dari prinsip ini adalah pemerintah memberdayakan atau memberi wewenang ketimbang melayani (empowering rather than serving). Artinya, pemerintah berharap agar rakyat berdaya sendiri dengan memberi wewenang kepada masyarakat agar terselenggara pelayanan efektif dan efisien. Ini dilakukan agar kelak masyarakat mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah dengan menjadi masyarakat mandiri. Dengan kata lain, negara berlepas diri dari kewajibannya sebagai pelayan rakyat.
Ketiga, pemerintahan kompetitif (competitive government). Maksudnya ialah pemerintah menjadi pesaing bagi organisasi bisnis lainnya. Pemerintahan semacam hanya akan memberi peluang swasta bermain di banyak sektor strategis. Sebagai contoh, hari ini semakin banyak sekolah swasta dan rumah sakit swasta berdiri dalam rangka mengakomodasi pelayanan dan fasilitas publik yang masih kurang pada sekolah dan rumah sakit yang berstatus negeri. Ini contoh pelayanan dalam pendidikan dan kesehatan. Alhasil, rakyat yang hidupnya terbatas dan ekonomi pas-pasan harus merasa berpuas diri mendapat layanan publik yang ala kadarnya. Kondisi ini akan memperparah kemiskinan menjadi semakin ekstrem.